Ara mendengus keras. Tidak terima dengan omongan Clarissa yang memutar balikkan fakta. Kilatan permusuhan sudah tercetak jelas di mata masing-masing kubu.

"Yang dari tadi nempelin cowok siapa ya? Padahal baru kenal juga."

Ayah dan bunda yang mendengar percekcokan itu pun hanya saling lempar pandangan. Sudah khatam mereka kalo urusan seperti ini. Sudah pasti ada saja yang diributkan. Tetapi meskipun begitu, kedua pasangan suami istri itu salut akan persahabatan yang dijalani oleh putrinya itu. Hal sepele memang sering diributkan, tetapi bila sudah menyangkut masalah yang dialami salah satu dari ketiganya ataupun masalah yang lebih besar, mereka bertiga akan solid satu sama lain. Saling menyayangi dan menjaga satu sama lain sudah menjadi landasan harga mutlak bagi persahabatannya.

Dulu saat pertama kali pindah ke Jakarta ini, mereka--ayah dan bunda--sempat khawatir pada nasib pertemanan yang akan dijalani putrinya. Pasalnya saat berada di Jogja dulu putrinya itu hanya berteman dengan Radit di sekolah dan dengan Revan saat di rumah. Ara memang agak sedikit pemalu dan tertutup jika dengan orang baru, ia cenderung memilih diam dan menyendiri daripada berbicara dengan orang yang tak dikenalnya. Tetapi bila sudah saling kenal, Ara itu berubah 180°. Yang tadinya pendiam bisa menjadi orang paling bawel.

"Iya? Wah siapa Cla? kenal nggak kamu?" Sahut ayah yang tertarik ingin menggoda putrinya.

"Ayah!" Di tempat duduknya Ara sudah memasang muka cemberut. Diletakkannya sendok dan garpu yang sedari tadi digunakannya.

"Wihh ya kenal dong ayah, orang tadi Cla kenalan. Namanya Arga. Guanteng banget yah! Kalo menurut Cla sih ayah nggak ada apa-apanya."

Ayah sontak cemberut, "Loh kok dibandingin sama ayah? Oh ayah tau, pasti kamu suka kan sama dia. Ngaku deh, alah pakek ngumpanin Ara segala."

Ara tersenyum miring di bangkunya. Sukurin, emang enak.

Sekarang justru Clarissa yang memasang wajah cemberut. Tatapannya mengarah pada Ara yang kini cekikikan sendiri.

"Ih ayah! Arga tuh punya Febby tau! Orang tadi aja udah gandeng-gandeng Febby kok."

"Heh kambing, ngaca siapa yang ngegandeng. Orang elu juga." Sebal Clarissa yang tak terima Arganya difitnah menggandeng Febby.

"Loh-loh jadi ceritanya Arga ini direbutin kalian bertiga nih?" tanya bunda yang syok.

Ara melotot. Enak saja ia diikutkan. "Ih apaan Ara nggak nggak ikutan ya bun. Mereka berdua aja. Dasar cewek genit."

Makan malam di rumah Ara terasa ramai oleh kedatangan Febby dan Clarissa. Kedua orang itu menambah rasa harmonis yang sebenarnya sudah tercipta setiap harinya.

Perdebatan mengenai sosok cowok yang mereka temui di mall tadi terus berlanjut hingga makan malam usai.

Setelahnya, Ara beserta kedua temannya pamit undur diri untuk ke kamar Ara. Iya mereka akan tidur satu kamar.

Sesampainya di kamar, Clarissa langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang tempat tidur. Mengambil posisi tengkurap dengan guling sebagai bantal.

"Ck! Abis makan langsung tidur? Gendut baru tau rasa!"

"Berisik! Gue kan rajin olahraga. Nggak mungkin lah."

Febby terbahak. Rajin olahraga katanya? Lari keliling lapangan basket saja sudah engap-engap itu anak. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke arah rak novel yang Ara miliki. Memilah disana guna mengusir rasa bosan. Tetapi ketika ia melihat seberapa tebal novel itu ia pun menghela napas malas. Terlalu tebal untuk ukuran Febby yang tidak suka membaca. Ia pun memilih menyusul Clarissa yang sudah berada di alam mimpi.

Ara sendiri tengah keluar kamar entah mau apa. Tak lama kemudian Ara kembali masuk dan langsung berjalan lurus menuju balkon dengan satu cangkir cokelat panas.

Semilir angin malam kembali menampar lembut wajah Ara yang saat ini tengah berdiri di pinggiran balkon --melakukan rutinitasnya. Tangannya menggenggam cangkir cokelat panasnya guna menghalau dingin.

Kali ini perasaan Ara tengah gundah. Semenjak perkenalannya dengan Arga tadi, ada sesuatu yang menolak didalam dirinya. Apalagi tadi ia sempat menerima sederet pesan yang dikirimkan cowok itu. Ara sempat bingung bagaimana bisa cowok itu punya nomornya padahal tadi mereka tidak saling bertukar nomor. Tetapi ketika Ara teringat ia punya sahabat yang pikirannya kurang waras, jadilah ia mengerti siapa dalangnya.

Ah ia jadi ingat Farel, bagaimana ya bila cowok itu tau kalo Ara habis berkenalan dengan cowok. "Lah ngapain juga sih gue riweh? Bodo amat dong, kan Farel bukan siapa-siapa."

"Ngapain sih malem-malem diluar?"

Ara tersentak dari lamunannya. Kemudian menoleh ke samping, disana Febby telah berdiri dengan tangan yang memeluk badannya sendiri. "Lah bukannya lo udah tidur? Masuk sana lo, dingin."

"Kenapa?"

Ara menyeritkan dahinya, "Apanya yang kenapa?"

"Itu" tunjuk Febby pada muka Ara, "kok muka lo kayak lagi mikirin cowok gitu sih."

Ara menegang, emang kentara ya kalo dirinya sedang memikirkan Farel? Ah mana mungkin. "Ngaco lo. Emang muka gue kaya gimana? Orang biasa aja kok."

Disebelahnya, Febby menatap Ara dalam. Menatap tepat pada manik mata sahabatnya itu. Berusaha mencari secuil kejujuran disana.

Ara yang ditatap seperti itu pun mendadak gelisah. "Ih lo ngapain sih. Tau ah gue mau masuk."

Disana Febby tak berpindah seinchi pun. Masih berdiri tegak, tetapi tatapan matanya kini sudah berpindah ke sesuatu di atas sana.

Tadi, sebelum menyusul Ara kesini ia sempat mendengar satu nama orang yang amat dikenalnya. Sudah kedua kalinya ia memergoki Ara yang aneh ketika menyangkut dengan Farel.

Apa benar Ara menyukai Farel? Febby menghela napas kasar, kemudian ia melenggang masuk.

# # #
 
Holaa👋
Hei, hei, hei

Nggak papa lah pembacanya dikit dan aku tetep up, ehe.

Komen dan saran dari kalian ayo keluarkan, aku tunggu😊

Semoga suka❤

About YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang