12) Without Formality

Start from the beginning
                                    

Ocha langsung berdehem kikuk, tak berani mendebat Sean. Mungkin karena suara Sean yang selalu terdengar tegas dan galak, membuat Ocha kehilangan keberaniannya untuk mengomeli Faril.

"Ndut, sebaiknya kamu kembali ke kamar dan ngerjain PR." Ocha memasuki kamar Sean, menarik pelan tangan Faril agar berdiri, lalu mengacak gemas rambut adiknya itu.

"Iya, Kak." Faril menurut. Ia keluar dari kamar Sean dan berjalan menuju kamarnya.

Sean mendongak dengan tatapan datar, melihat Ocha yang masih berdiri di dekatnya. Tiba-tiba ia menarik tangan Ocha hingga membuat Ocha terduduk di sampingnya.

"Lo harus tanggung jawab!" tagih Sean.

"Tanggung jawab untuk apa?" Ocha masih tak paham dengan alur pembicaraan yang dimulai Sean.

"Tanggung jawab main game. Karena lo udah ngusir Faril dari kamar gue, berarti lo harus gantiin Faril jadi lawan gue."

"Maaf, Kak. Saya nggak bisa main game."

"Mana bisa kalau belum dicoba." Sean meletakkan stick PS ke pangkuan Ocha.

"Ta tapi-"

"Cepetan!" kata Sean setengah membentak.

Ocha menghela napas, menahan kesabaran. Tak ada pilihan lain selain menuruti perintah Sean walaupun ia tak pernah bermain PS sebelumnya. Ocha menekan-nekan tombol-tombol di stick secara sembarangan karena tak tahu bagaimana cara memainkannya. Ini pertama kalinya dia bermain PS.

Sean memutar malas kedua bola matanya lalu menghela napas jengah. Ia pun mulai mengajari Ocha bagaimana cara bermain PS. Karena Ocha terlampau cerdas, Sean tak perlu mengulang penjelasannya untuk membuat Ocha mengerti.

Awalnya Ocha masih sedikit bingung dan kelabakan memainkan tombol. Namun lama-kelamaan ia merasakan sensasi yang begitu menyenangkan saat bermain. Jemarinya perlahan mulai bertambah lincah. Entah mengapa ada ambisi untuk mengalahkan Sean di game ke-21 yang akan mereka mainkan.

"Aku bakal ngalahin Kakak," kata Ocha penuh keyakinan.

Dahi Sean berkernyit. Ia baru saja mendengar Ocha berkata 'aku' padanya. Biasanya, Ocha menggunakan bahasa formal saat melakukan percakapan dengannya. Tak hanya Ocha! Seluruh siswa-siswi di Delton bahkan berbicara formal pada Sean baik kakak kelas, teman seangkatan, maupun adik kelas. Hanya ada enam orang yang berani berbicara tidak formal padanya, yaitu Lisya, Royyan, Alvaro, Axel, Bima, dan Satria.

Sean tersenyum tipis. Entah mengapa ada perasaan yang menggelitik saat mendengar Ocha tidak lagi berbicara formal padanya. Dan Sean tak tahu perasaan apa itu.

"Eh gimana kalau kita taruhan?" ajak Sean. Ia ingin membuat permainan terasa semakin menantang.

"Taruhan? Taruhan apa? Aku tidak mau. Lagian, aku nggak punya uang," tolak Ocha.

"Gue juga tau kalau lo nggak punya uang. Em ..." Sean berpikir sejenak. "Gimana, kalau gue kalah, lo boleh minta satu permintaan. Kalau gue menang, lo harus anterin kue bikinan elo ke kelas gue."

"Cuma kue aja kan? Oke kalau gitu."

Ocha mulai bersiap dengan melebarkan mata ke arah layar kaca, terlalu fokus untuk mencapai ambisinya mengalahkan Sean.

Mereka pun memulai game dan permainan berjalan dengan sangat sengit. Tangan Ocha sudah cukup terlatih. Namun, Sean jauh lebih terlatih. Bahkan Royyan dan Alvaro pun tak bisa mengalahkan bakat Sean dalam bermain PS.

"Ya ya ya..." ucap Ocha kecewa, menghadapi kenyataan bahwa permainannya telah game over.

"Nggak ada yang bisa ngalahin gue." Sean melipat tangan dengan dagu sedikit terangkat. Tidak bisa disebut Sean kalau tidak sombong.

"Ih Kak. Satu permainan lagi ya, please!" pinta Ocha. Ia masih memiliki ambisi untuk mengalahkan Sean.

"Waktunya Be. La. Jar." Sean mendorong pelan kening Ocha dengan jari telunjuknya sebanyak tiga kali bersamaan saat ia mengucap kata belajar.

"Yaelah. Nggak belajar sehari, nggak bakal bikin bego kok."

"Ih itu ucapan gue. Nggak boleh dicopy paste!" tegur Sean setengah membentak.

"Ya udah deh. Aku ngaku kalah. Besok aku pasti bawain kue buat Kakak. Tapi aku nggak janji rasanya enak atau enggak." Ocha menunduk takut.

"Gue juga bakal berpikir 100 kali buat nyicipin kue buatan lo yang entah higienis atau enggak."

Ucapan Sean membuat Ocha marah tapi Ocha tak berani membantah. Cowok galak yang berada di sampingnya itu mungkin akan membully-nya kalau dia berani membantah. Sudah cukup Axel saja yang bersikap jahat padanya. Ia tak mau membuat Sean ikut-ikutan bersikap jahat.

😊😊😊😊
Vote dan komen gaes

Menurut kalian, siapa sih yang lebih cocok sama Ocha?

A. Sean

B. Axel

Sean Aurelliano Radeya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sean Aurelliano Radeya

Sean Aurelliano Radeya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Okalina Taruni

Axel Sharafat Ardiaz

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Axel Sharafat Ardiaz

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now