Akhirnya Revan pun menururi kemauran Ara, mendorong sedikit kencang ayunan itu. Ara pun memekik kegirangan, tak segan ia ikut menggoyangkan badannya agar ayunan itu semakin kencang.

Hingga tiba-tiba Ara kehilangan keseimbangannya dan berakhir jatuh terjerembab. "Auhh....sakit"

"ARA!" Revan pun buru-buru menghampiri Ara. "Aduhh bangun-bangun, sakit? Mana yang yang sakit? Kamu sih minta dikencengin jadi jatoh beneran kan."

Ara meringis, "ihh kok kakak ngomel sih, Ara lagi sakit ini. Perih tau," ucapnya sembari mengibaskan tangannya serta meniupi lututnya yang luka.

"Kamu juga sih, udah tunggu sini dulu kakak ke apotek bentar."

Tak berapa lama pun Revan kembali dengan membawa kantong kresek yang berisi kapas beserta alkohol untuk membersihkan luka Ara. Dengan telaten Revan mengobatinya dengan sesekali meniup-niupnya.

"Nah udah, makannya nggak usah sok-sokan minta kenceng-kenceng, lagian kamu juga ngapain goyang-goyang sih." Revan masih saja membahas nya. "Udah pulang sekarang yuk,"

"Ihh Ara nggak bisa jalan, sakit." Ara kembali merengek.

Revan mengembuskan napasnya pelan, "Yaudah sini naik!" ucap Revan yang saat ini tengah jongkok membelakangi Ara.

Diam-diam Ara mengulas senyum. Lumayan enggak capek sampe rumah, hihi. Ara pun buru-buru naik ke punggung Revan.

Setelah dirasa Ara cukup nyaman digendongannya, Revan pun mulai melangkahkan kakinya.

"Kak Revan cepetan dong jalannya, masa kaya keong gini sih. Lari dong biar cepet."

"Kamu tuh ya... nanti kalo jatoh lagi gimana? Bonyok lagi itu lutut kamu. Yang tadi aja belum sembuh mau ditambah lagi?"

Ara hanya cekikikan di gendongan Revan. "Kak nanti berenti di situ ya Ara pengen es krim," tunjuk Ara pada penjual es krim yang tak jauh dari mereka. "Tapi yang jajanin kakak, Ara nggak bawa duit."

                           ***
                  
"Apa sih jangan ditarik-tarik!" Ara terus meronta pada cekalan tangan yang terus saja menariknya entah untuk kemana. "Kak lepasin! Aku nggak mau," Cekalan tangan itu semakin menguat saat dirinya terus meronta. Pergelangan tangannya sudah pasti memerah karena cekalan yang orang itu berikan.

Hingga akhirnya langkah orang yang menariknya itu berhenti, tetapi tetap tidak melepaskan cekalannya pada tangan Ara. Ara pun sontak ikut menghentikan langkahnya, matanya menyisir ke sekeliling mencari tahu dimana keberadaannya saat ini. Dilihatnya tembok-tembok tinggi yang mengapit kanan dan kirinya dengan ilalang yang sudah meninggi hampir setengah dari tinggi dirinya.

Ara tak tahu dimana ia berada saat ini. Matanya sudah memerah siap menumpahkan cairan bening yang saat ini tengah berusaha mendesak keluar. Apalagi dengan rasah perih yang masih saja terasa di pergelangan tangannya.

"Aku sayang sama kamu, Ra."

Ara masih saja diam, sudah berkali-kali orang itu mengatakan kalimat yang sama dalam kurun waktu 2 minggu ini.

"Jadi pacar aku,"

Ara menggeleng kuat. Bebarengan dengan itu cekalan di tangan Ara semakin kuat. "Kak lepas...sakit," ucapnya bergetar.

"Aku kurang apa sih? Hah! Semua yang kamu kamu mau bakal aku kasih! Kamu cukup bilang iya dan nurut sama perkataan aku!"

Cairan bening itu telah lolos dari matanya, isakan yang sedari tadi ditahannya pun telah keluar. Ara tidak suka dibentak, Ara takut dengan bentakan.

"Lepasih Ara bangsat!" Teriak seseorang dari ujung tempat dimana Ara dan orang itu berada.

"Kak Revan," isakan Ara semakin mengeras. Revan yang mendengarnya bun berubah menjadi beringas, air mukanya mengeras dan merah padam.

Tak segan Revan berlari dan menubruk orang yang menyakiti Ara. Sontak cekalan di tangan Ara pun terlepas, membuat Ara bernapas sedikit lega, walaupun bekas kemerahannya tercetak begitu jelas menimbulkan rasa kebas.

"Bangsat! Berani lo nyakitin adek gua!" Revan berteriak di depan muka orang itu. Dengan posisi Revan menindih perut lawannya yang telah terkapar dibawahnya. Memang Revan sempat memukulnya beberapa kali, membalas perbuatan yang dilakoni orang tadi pada Ara.

"Gua sayang sama Ara! Nggak mungkin gua nyakitin dia!" Teriaknya tak kalah keras.

Bugh!

Revan kembali melayangkan kepalan tangnnya pada wajah didepannya. "Liat! Apa yang udah lo lakuin!" Tunjuk Revan pada Ara yang saat ini tengah berjongkok menyembunyikan wajahnya. Revan berani bertaruh, kalau saat ini Ara tengah menagis.

"Gausah deketin adek gua lagi!" Tuturnya. Revan pun bangun dadi posisinya, menuju ke arah Ara.

"Ra..." panggil Revan seraya menarik Ara ke pelukannya. "Kakak disini."

Tangis Ara semakin pecah. Dipeluknya erat tubuh Revan. Menyalurkan segala ketakutan yang tadi dirasakannya.

Umur Revan yang hanya berpaut 3 tahun dengannya membuat Ara merasa mempunyai sosok kakak yang sangat diimpikannya. Sosok pelindung yang bisa diandalkannya. Beruntung Ara mempunyai Revan yang selalu ada untuk dirinya.

Walaupun antara Ara dan Revan tidak ada hubungan darah satu sama lain tetapi Revan telah menganggap Ara seperti adiknya sendiri. Hal itu juga didukung dengan rumah mereka yang hanya berbatasan jalan komplek.

Ara dan Revan telah dekat dari kecil, setiap ada yang menganggu Ara sudah dipastikan akan berurusan dengan Revan. Menurut Ara, Revan bukan hanya sosok tetangga depan rumah, tetapi sosok kakak yang siap siaga melindunginya. Tak hanya itu, Revan juga bisa dijadikan teman sebayanya ketika ia sedang merasa sendiri.

Hingga beberapa bulan setelah kejadian itu, Ara mendengar berita kepindahan Revan. Saat itu Ara begitu sedih, ia sempat merengek agar Revan membatalkan niatnya.

"Hiks... kakak jangan pergi, hiks... nanti yang jagain Ara siapa? Hiks...," Ara terus merengek dihadapan Revan ketika ia berpamitan padanya.

Revan merengkuh Ara ke dekapannya. Sebenarnya ia juga enggan untuk pindah, apalagi meninggalkan adik kesayangannya itu. Tetapi Revan tak memiliki kuasa untuk menolak kepindahannya. Perceraian kedua orang tuanya membuatnya harus ikut salah satu dari mereka. Revan dipaksa ikut papanya pindah ke Jakarta, sedangkan adik Revan, Radit tetap tinggal di Jogja bersama mamanya.

"Shut... jangan nangis dong. Kan disini masih ada Radit. Kalo ada apa-apa Ara bisa panggil Radit. Radit juga jago bela diri kok kaya kakak."

Ara masih saja sesenggukan, "Ta-tapikan Ara maunya sama kakak, nanti-nanti kalo Ara kangen sama kakak gimana? Jakarta kan jauh,"

Revan mengurai pelukannya. Menangkup kedua pipi Ara dan mengarahkan wajahnya kearah dirinya. Dilihatnya air mata yang masih saja mengalir deras pada pipi adiknya itu. Kedua tangan Revan pun bergerak lembut membelai pipi Ara. "Kita kan masih bisa telephonan, bisa video call juga. Jangan sedih lagi dong. Kalo kakak bisa milih, kakak juga nggak mau pindah, kakak mau jagain Ara disini tapikan kakak nggak bisa, harus ikut papa. Kasian kalo papa di Jakarta sendirian."

Akhirnya setelah Revan berkata banyak untuk membujuk Ara, Ara sudah bisa merelakan kepindahan Revan.

Flashback off.

# # #

Hai-hai haloo
Apa kabar nih? Baik-baik aja kan,

Oh iya selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan🙏

Emh, semakin kesini kok semakin sepi ya☹ jadi sedih akutu. Ayo dong ramein lagi, ajak yang lain buat baca. Kalo ada saran langsung DM aja ya. (ex : kak, kok ceritanya kek gini sih, berbelit-belit! Saran nih bla bla bla.)

Hihi, sekarang insyaallah aku updatenya pasti 1 bulan 2 kali ya, setiap tanggal 13 sama 27 kalo nggak ada halangan (ex: gadapet ide buat nulis, males), tungguin terus ya!

Semoga suka❤

About YOUWhere stories live. Discover now