epilog

348 60 203
                                    

Tidak tahu apa yang aku rasakan. Rasanya ingin menangis meraung atau pun hanya berdiam diri memikirkan kehidupanku yang terlihat begitu rumit. Kenapa di saat aku merasakan sebuah kehangatan yang diciptakan seseorang selalu saja hilang seakan diterpa angin?

Aku pernah merasakan hal ini tiga tahun silam, di mana aku harus meninggalkan orang terkasihku di sebuah kota kelahiranku. Sekarang? Orang-orang yang aku cintai kembali meninggalkanku di kota yang penuh akan kenangan ini.

Kenapa aku harus merasakan hal seperti ini di hidupku? Tidakkah perpisahan kedua orang tuaku sudah cukup untukku? Bagaimana dulu hatiku yang hancur berkeping-keping dan tidak dapat kembali menjadi utuh? Bagaimana perasaanku yang sangat berantakkan seakan tersapu oleh tornado? Tidakkah semua itu cukup?

Satu per satu kepingan aku satukan kembali selama beberapa tahun. Saat kepinganku sudah bersatu kembali, aku diuji dengan kejadian yang sama? Aku tidak menginginkan ini. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin menjadi penghalangnya atau pun mereka.

Kenapa orang-orang yang aku cintai selalu meninggalkanku? Apakah ini namanya kehidupan yang sebenarnya? Apakah sepahit ini hidupku?

Semua pertanyaan itu masih saja berkecamuk di dalam benakku. Aku pikir semua ini tidak adil. Kenapa aku harus merasakan ini semua? Aku sudah cukup belajar dari ini semua. I have learned a lot. Namun kenapa hal ini harus terjadi kembali?

Kenapa aku harus dihadapkan oleh perpisahan kembali?

Kenapa?

"Can you give me an advice for being in distance relationship? Biar selalu deket gitu?" Ucapku pada Kian di lobby setelah janjian untuk bertemu sehabis bel pulang sekolah berbunyi. Jika kalian bertanya-tanya apa yang aku maksud, nanti kalian akan mengerti juga. "That's easy, three words." Kian memasang wajah songongnya, "face time fool."

"We are gonna be in the different timezone." Ucapku dengan meninggalkan karbon dioksida di udara. "Ini pertama kalinya gua jauh dari dia, dan juga mereka" kataku sembari tersenyum mengingat wajah lelaki itu dan yang lainnya. Kian mengusap bahuku lalu memelukku. "It's hard for me, like, you know, he's my first love, dan baru beberapa bulan bersatu kita bakalan terpisah?"

"Sejak kapan (y/n) gue jadi mewek dan baku banget kek guru bahasa indonesia?" Ucap Kian dengan senyumnya yang khas antara ingin ditinju atau dipandang setiap detiknya. "Communication is the most important thing in distance relationship also trust, dont lose either of them, buddy." Katanya sembari menoel hidungku yang pasti sudah menjadi tambang minyak.

"He will be fine," Kian berusaha menenangkanku, "and you will be fine. I promise." Ia menggenggam tanganku yang langsung membuatku mengukir senyum. "Thank you," Kian hanya mengangguk dan memelukku lagi. "I'm going to be here for you, always." Bisik Kian di samping telingaku. "They'll be fine."

Hi or Hey


Berat rasanya melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar. Mentari senja mulai menyapa seiring bumi berputar. Aku tidak dapat tidur dari kemarin malam karena terus saja dihantui oleh rasa khawatir. Rencananya sore aku ini akan ke bandara.

Aku tidak berlibur atau pergi dari kota ini, aku akan tetap tinggal di sini. Namun, orang-orang terkasihku lah yang akan keluar dari kota ini untuk mengejar mimpinya.

"(Y/n)," Papa berdiri di antara pintu kamarku sembari tersenyum tipis, mungkin Papa tahu kenapa aku tidak memiliki semangat untuk sore ini. "Papa tau ini berat buat kalian, tapi beginilah kehidupan, sayang. Ada kala manis dan pahit, layaknya yang Papa bilang, apa yang kamu perjuangkan di awal nantinya akan berbuah manis. Tergantung bagaimana kalian menyikapinya." Papa memelukku sehangat api pada perapian. Aku mengangguk disela kami berpelukkan. "Temuin Michael di bawah, dia udah nunggu kamu."

Hi or Hey // 5SOSWhere stories live. Discover now