Bab 34

244 18 0
                                    

Mereka duduk di sofa yang berbeda, namun berhadapan. Diki sama sekali belum menatap Riska sejak mereka duduk di sofa tanpa membicarakan apapun. Perempuan di depanya juga tidak bersuara sedikitpun, hanya menatap Diki penasaran.

Diki berdeham lagi. Mendadak tenggorokkannya kering. "Lo mau minum apa?" tanyanya menatap Riska.

"Hm... Gue mau teh manis aja," jawab Riska.

Diki mengangguk mengerti. "Oke, satu teh manis..."

"Biar gue aja yang bikin," sela Riska berdiri dari duduknya. Riska mengangguk, dia menggigit bibir ragu. Ini sepertinya agak lancang, namun Riska hanya ingin mandiri menjadi seorang tamu. Maksudnya, dia hanya tidak ingin menunggu Diki membuatkan minuman untuknya tanpa melakukan apa-apa. Pastilah setelah Diki kembali membawakannya secangkir teh, mereka akan kembali diam di ruang tamu ini.

"Dapurnya belok kanan aja," kata Diki tanpa menoleh.

Riska mengangguk lagi. Kemudian dia melangkah dengan cepat menuju dapur. Namun baru beberapa langkah, Riska berhenti tepat di samping Diki duduk. Dia menoleh menatap kepala Diki yang tertunduk. "Ibu lo di mana?"

"Pergi arisan. Adik gue juga ikut, kecuali Habibi, dia mungkin main ke rumah temennya," jawab Diki lengkap dan terperinci agar perempuan itu tidak lagi bertanya. Dia menatap Riska sekilas dengan wajah datar.

"Oh..." guman Riska. Dia berjalan meninggalkan Diki sendirian di ruang tamu. Riska menyeduh tehnya dengan air panas, lalu mencampurnya dengan air dingin agar bisa langsung diminum. Tiba-tiba Riska teringat sesuatu. Dia mengambil sebuah mangkuk sedang kemudian dia mengisikannya dengan air hangat kuku. Dia mengambil sapu tangan yang masih bersih di atas lemari bofet di dekat kulkas. Setelah selesai, Riska membawanya dengan nampan ke ruang tamu.

Kening Diki berkerut melihat sebuah mangkuk berisi air putih di atas meja, dua cangkir teh manis dan sebuah sapu tangan. Dilihatnya Riska sedang tersenyum ke arahnya.

"Sini gue kompres luka lo," katanya sambil menepuk sofa di sebelahnya duduk.

"Ngga usah. Cuma gini doang..."

"Ayo," potong Riska menarik tangan Diki agar segera pindah duduk di sampingnya.

Diki terdiam. Dia tidak protes lagi ketika Riska menarik tangannya. Dia menurut dan duduk di samping Riska sambil memperhatikan wajah perempuan itu.

Riska mengambil sapu tangan berwarna putih bersih itu lalu mencelupkannya ke dalam air hangat di mangkuk. Kemudian dia memeras airnya dan melipatnya. Riska menempelkannya dengan hati-hati ke luka memar di sudut bibirnya. Sambil menekan pelan-pelan bagian yang memar tersebut, Riska tersenyum kembali. Dia telaten mengkompres luka Diki.

Jantung Diki berdetak dua kali lebih cepat ketika mata Riska menatapnya selama 1 detik. Lagi, perempuan itu tersenyum. Membuat Diki diam seribu bahasa, tidak tahu bagaimana mengambarkan bentuk hatinya yang berdebar. Desiran darahnya yang mengalir cepat membuat Diki agak gamang. Diki pikir dia kehilangan gravitasi di sekiatarnya, namun nyatanya diam-diam Diki mengeluh dalam hati ketika tangan Riska menyentuh wajahnya dengan lembut.

"Jangan bohong sama gue. Ngga mungkin jatuh dari kamar mandi lo cium sudut bak mandinya, kan?" tanya Riska.

Diki diam tidak menjawab. Dia hanya memperhatikan bibir perempuan itu berbicara. Sesekali Riska melirik Diki. Dan Diki membalasnya dengan menatap lama ke wajah Riska.

"Siapa yang melakukan ini ke elo?" tanya Riska. Diam-diam dia mengeluh dalam hati ketika melihat lebam berwarna biru di tulang pipi Diki.

"Siapa yang udah melukai lo, Diki?" tanya Riska lirih, namun itu lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya masih setia menekan kompres yang sudah dingin itu ke wajah Diki. Laki-laki itu tidak meringis perih sedikitpun, entah karena lukanya yang sudah tidak sakit lagi, atau memang Riska yang terlalu lembut memperlakukannya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Onde histórias criam vida. Descubra agora