Chapter 39: Apakah Ini Akhir Dari Segalanya?

Start from the beginning
                                    

Jihan menatapnya dengan pandangan aneh. Ia pasti terkejut jika Gevin memberinya kado untuk ulang tahunnya yang ke depalan belas. Tapi ia segera menepis ekspresinya lalu tersenyum kepada Gevin.

"Makasih, Gev."

Gevin mengangguk pelan lalu duduk di sofa yang tadi di duduki oleh Jihan.

"Gev, aku mau ngomong sama kamu,"

"Ya, ngomong aja." jawab Gevin sambil menatap Jihan.

"Tapi jangan marah ya?" ujar Jihan sambil menatap mata Gevin. Gevin mengangguk dan ia memalingkan wajahnya dari Gevin.

"Gev, sebenernya a-aku—aku gak hamil, Gev." ujar Jihan sesantai mungkin.

Namun ia tidak bisa menahan rasa takutnya. Jari-jari tangannya bergetar hebat. Tubuhnya terasa panas dingin. Ia memejamkan matanya. Ia merasa aneh karena Gevin tidak menjawab pernyataannya. Ia pun membuka matanya. Menatap Gevin yang memandangnya sendu.

"Gev?"

"Aku udah tau, Han." ujar Gevin sambil tersenyum. Jihan membelalakkan matanya.

"Gev, k-kamu, kamu udah t-tau?" tanya Jihan dengan gugup. Ia merasa jika selama ini dia merasa bersalah kepada Gevin.

"Kamu buka tas itu." ujar Gevin.

Jihan pun membuka tas pemberian Gevin. Di dalam tas itu terdapat sebuah amplop cokelat. Jihan mengambilnya dan bertanya kepada Gevin apa isinya. Gevin menyuruhnya agar membuka sendiri amplop itu. Tangan Jihan bergetar ketika mengetahui apa yang ada didalam amplop itu.

"Kamu gak perlu bohong, Han. Kamu tau jika itu dosa. Seharusnya kamu tidak perlu menurut sama ibu tiri kamu jika kamu tau itu salah. Sekarang kamu membohongi banyak orang, Han." ujar Gevin.

"Gev aku—"

"Kamu bisa minta bantuanku, Aldi, Vera, dan yang lain agar kamu tidak terjebak dalam masalah ini. Lalu, aku harus bagaimana? Bagaimana aku menjelaskan kepada mama jika kamu tidak hamil. Bahkan mama saja tidak menyukaimu, Han. Apa yang harus ku katakan?" tanya Gevin.

"Lalu, kenapa kamu mau melakukan ini? Karena dia ibu kamu? Atau kerena diancam?" tanyanya lagi.

Jihan terdiam tak berkutik. Ia memilih diam hingga Gevin menyerah untuk mendapatkan jawaban darinya.

"Jihan gak mau jawab?" tanya Aldi. Gevin mengangguk pelan.

"Sorry, Gev. Bukannya gue gak mau bantu elo atau apa, tapi gue bener-bener gak tau harus bantu apa. Ini rumah tangga lo. Lo harus tau mana keputusan terbaik yang bakal lo ambil." ujar Aldi pelan.

"Gue tau. Gue juga udah tau kalo lo bakal jawab kayak gini, woles, bro." ujar Gevin.

Tiba-tiba saja seseorang memasuki Dapur. Ia menatap Aldi dan Gevin. Lalu ia membuka kulkas dan menuangkan air kedalam gelas. Setelah ia minum, ia kembali menatap keduanya.

"Ngapain lo berdua disini?" tanya Nadia, kakak sepupu Aldi yang tinggal di Bandung.

"Biasa lah. Ngobrol, penghilang rasa nervous." jawab Aldi sambil tersenyum pada Nadia.

"Ada-ada aja lo, Di. Udah cepet keluar. Udah mau di mulai tuh," ucap Nadia lalu meninggalkan dapur. Aldi dan Gevin pun juga meninggalkan dapur. Mereka menuju ruang tamu yang sudah dirombak menjadi ruangan yang cukup indah dengan hiasan mawar putih dan juga bunga lili.

Vera sudah berada disana. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih dan berenda di sepanjang tangannya. Rama menatap kedatangan putranya dan Gevin.

"Nah, akhirnya datang juga." ucap Rama.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja acara pertunangannya." ucap Farhan—kakek Vera.

Tak lama kemudian mereka saling bertukar cincin. Para keluarga yang menyaksikan pun bertepuk tangan.

Aldi memeluk Vera dengan erat seakan dia tidak ingin kehilangannya. Vera pun membalas pelukan Aldi dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Aldi.

Sejak tadi Aldi tersenyum gembira. Tak lupa, ia juga memeluk pinggang Vera dengan posesifnya. Mereka terlihat bahagia saat ini.

Setelah mengobrol antar keluarga dan juga makan malam bersama, keluarga Vera memutuskan untuk pulang. Mereka memilih rumah Aldi yang di gunakan sebagai tempat acara pertunangan ini karena rumahnya cukup sepi dan tak berdekatan dengan rumah yang lain. Jadi tak cukup banyak media yang akan memberitakan pertunangan mereka berdua.

Aldi memilih untuk mengantar Vera pulang ke rumah. Ia membukakan pintu mobilnya untuk sang tunangan tercinta. Ia menggenggam tangan Vera selama di dalam mobil.

"Di, perasaanku kok gak enak ya?" tanya Vera sambil menatap Aldi dari samaping. Ia melirik Vera sekilas lalu menggenggenggam tangannya lebih erat.

"Perasaan kamu aja. Mungkin terlalu bahagia." ucap Aldi dengan senyum manisnya.

"Bukan. Bukan kayak gitu. Beneran gak enak, Di. Aku rasa—ALDI?" teriak Vera ketika Aldi membanting setir ke arah kiri.

Mobil dari arah berlawanan berjalan sangat kencang dan meluncur dengan cepat ke arah mobil yang mereka tumpangi. Namun naas. Aldi kalah cepat dengan mobil itu dan mobil itu menabrak bagian depan mobil sport Aldi.

Kepala Aldi membentur setir. Pelipis kanannya berdarah. Kaca mobilnya retak parah. Ia menatap Vera dengan tangan yang bersimbah darah. Gaun putihnya kini sudah berubah warna menjadi merah. Ia memegang pipi Aldi dengan tangan yang penuh dengan darah.

BRUKK!

Tiba-tiba ada mobil yang menabraknya dari arah belakang. Kejadian ini begitu cepat. Tubuh mereka membentur jok depan.

"AKH!" teriakan Vera yang membuat Aldi memejamkan matanya.

Kepala Vera juga ikut berdarah. Darah segar mengalir dari kepala kirinya hingga ke pipinya. Dagunya memar. Tangannya mencengkeram tangan Aldi.

Vera meneteskan air matanya. Ia menatap Aldi dengan sendu dan penuh dengan darah di tubuh keduanya.

"D-di?" panggil Vera.

"Jangan bicara. Jangan bicara apapun." ucap Aldi yang menyadari bahwa Vera kesulitan untuk berbicara.

"Should I? S-should I go now?"

"No! Just stay with me and shut up your mouth! There's no reason to go okay?!" ujar Aldi yang menggebu-gebu.

"J-jangan per-pergi." gumam Vera. Suaranya tidak begitu jelas namun masih bisa dicernah dengan baik oleh Aldi. Aldi menggeleng pelan.

"Gak akan. Sekarang kamu diam. Berdoa kepada Tuhan. Agar kita selamat dan—"

"Je t'aime." gumam Vera. Lalu ia memejamkan matanya. Aldi sangat terkejut lalu menggoyang-goyangkan tubuh Vera.

"Bangun, sayang!" teriak Aldi. Vera diam tak merespon perkataan Aldi. Aldi menumpahkan air matanya.

"No! I wont to lose you! Wake up! Ve, please wake up!" isak Aldi yang masih membangunkan Vera. Ia berfikir apakah ia akan kehilangan orang yang dicintainya, lagi? Tidak. Dia tak sanggup hidup tanpa orang yang ia cintai saat ini.

"WAKE UP!"

END

Should I?Where stories live. Discover now