Chapter 5: Pencerahan

Mulai dari awal
                                    

"Ya, ya. Dan gue ingetin. Jangan curi start!" ucapku dengan ketus. "Curi first kiss lo mah gampang. Bakal gue curi kok." timpalnya kemudian tertawa.

"Third kiss maksud lo?" tanyaku dengan seringai mengejek. Lagi-lagi dia menatapku tajam.

"First kiss sama second kiss? Ah udah diambil Gevin ternyata." ucapnya dengan tidak percaya.

"See? It was too late, hah? I feel happy, now. And, you can't get my Third kiss, Darl." ucapku sambil mengedipkan mata.

"Wanna a proof? I can do it now, baby. I can do it now, but my brain said that I can do it tomorrow." ucap Aldi sambil melepaskan genggaman tangannya.

Dia menancap gas ke tempat bimbingan belajar Vio. Dalam perjalanan, kami hanya terdiam. Setelah beberapa saat kami pun sampai di bimbingan belajar Vio. Aku bisa melihatnya duduk di kursi kayu di depan kantor satpam.

Aku keluar dari mobil terlebih dahulu lalu menganggil Vio. Dia terkejut dan berlari kearahku. Kemudian dia memelukku. Aku menekuk lututku didepannya.

"Sudah lama menunggu ya? Kakak minta maaf ya." ucapku yang diikuti gelengan.

"Pasti Abang yang melakukannya. Kan Abang yang menyetir." ucap Vio sambil menatap kebelakangku.

Aldi datang dari belakang. Dia mengacak rambutku. Dia berjongkok disebelahku.

"Tapi 'kan Abang sudah disini, sayang. Nanti abang belikan Ice cream. Mau kan?" tanya Aldi sambil memegang kedua pipi chubby milik Vio.

"Bakat banget ya mengambil hati orang." ucapku pelan. Vio yang mendengar pun tertawa.

"Loh, emangnya gue ngambil hati lo? Kapan operasinya?" tanyanya sambil menjitak kepalaku. Aku mengerucutkan bibirku dan berdiri. Vio berlari masuk kedalam mobil.

"Udah mulai lupain Gevin ternyata." ucap Aldi yang mendahuluiku dan masuk kedalam mobil.

"Tuh 'kan, gak ada romantis-romantisnya. Gevin aja bukain pintu." ucapku yang kemudian masuk kedalan mobil. Aku melihat Vio yang duduk di kursi belakang. Dia terlihat cemberut.

"Kamu kenapa, sayang? Lesnya gak seru? Atau soalnya sulit?" tanyaku sambil menatap ke arahnya.

"Kata papa, ini hari terakhir Vio les disini. Katanya sih, gurunya mau datang ke rumah." ucapnya sambil cemberut.

"Lalu, apa yang bikin Vio cemberut gitu?" ucapku lembut. "Vio gak ketemu sama temen-temen, Kak. Abang malah saranin ke papa biar Vio homeschooling aja. Abang emang keras kepala. Egois." ucap Vio kemudian menendang kursi kemudi Aldi.

"Vio!" seru Aldi yang masih fokus ke jalan. "Apaan sih? Kalo ngomong sama anak-anak jangan di kasarin. Coba lo yang di kasarin. Gak mau kan? Yang remaja aja gak mau, apalagi anak-anak." ucapku sambil memukul lengannya.

Vio yang ada di bangku belakang mulai menitikkan air mata. Aku langsung pindah ke bangku belakang tanpa keluar dari mobil. Aku memeluk Vio yang sedang menagis.

"Ve, balik gak?!" seru Aldi. Aku pun tidak menanggapi perkataannya. "Abang jahat! Abang jahat!" ucap Vio yang masih menangis.

"Fokus ke jalan. Urusan kita belon selesai. Kita ke rumah kamu. Sekarang." ucapku dengan nada sedingin-dinginnya.

Vio yang menatapku bergidik ngeri. Aku yang melihatnya pun langsung memeluknya lagi, sambil menggosok-gosok punggungnya.

Setelah sampai dirumahnya, Vio langsung berlari ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Tante Vina yang menyadari itu pun langsung benjalan ke arah kami.

Tante Vina bertanya apa yang terjadi pada Vio. Namun, aku menjawabnya dengan mengatakan jika Vio tidak apa-apa dan mungkin marah kepada Aldi yang telat menjemputnya.

Aku menarik Aldi keluar. Tepatnya berada di dekat kolam renang dan taman. Aku mendudukkannya di kursi santai. Aku yang marah pun berdecak pinggang.

Aldi menatap dengan tatapan lurus kedepan. Bahkan dia tidak menatapku sama sekali. Aku mulai melunakkan amarahku. Menyiram api yang ada di kepalaku dengan sikap dinginku.

Aku duduk disebelahnya dan memegang tangannya. Dia menatapku dengan wajah datarnya.

"Dengar, anak-anak tidak suka dibentak. Aku tahu, jika tidak dibentak mereka akan menjadi anak yang manja. Tapi caramu salah, Di. Oke, aku nurutin apa maumu. Hilangin kata lo-gue. Sekarang aku tanya sama kamu? Kalo kamu di bentak gitu, apa yang kamu lakukan?" tanyaku yang membuatnya menghembuskan napas dengan kasar.

"Marah mungkin, atau mengabaikan mereka, atau memberontak." jawabnya.

"Oke marah. Sekali orang marah sama kamu, aku tidak yakin kalo kamu tidak mudah percaya pada orang itu. Kamu pikir deh sekarang. Ya meskipun Vio masih akan percaya sama kamu. Paling gak kamu mau berubah, Di. Gausah berantem. Gausah clubbing. Gausah minum alkohol. Oke lah, aku kasih kamu nilai plus karena kamu gak ikutan ngerokok seperti Putra dan Radit. Tapi satu yang aku mau dari kamu, Di. Dan kamu pasti tau apa itu." ucapku panjang lebar.

"Berubah?" tanyanya sambil menatapku. Aku menganggukkan kepalaku.

"Maaf," lirihnya. "Kamu gak perlu minta maaf sama aku. Aku maunya kamu minta maaf sama Vio. Anak-anak itu gampang diambil hatinya kok. Beda kayak aku sama kamu. Iya kan? Sekarang sana, beliin dia kesukaannya. Aku tunggu disini." aku menariknya agar berdiri. Lalu kudorong punggungnya agar dia cepet melakukannya.

Tiba-tiba Tante Vina memanggilku. Tante Vina tersenyum padaku dan memberiku dua ibu jarinya.

"Kamu keren banget. Kamu itu orang pertama selain tante sama om yang nyuruh Aldi biar berubah. Eh, kamu tau Aldi suka clubbing?" tanya Tante Vina yang membuatku gelagapan. Aku hanya mengangguk.

"Vio kenapa?" tanya Tante Vina. "Vio nangis, Te, gara-gara Aldi bentak dia tadi." jawabku dengan jujur.

"Aldi itu bener-bener keterlaluan. Dua kali ini Vio nangis gara-gara di bentak sama Aldi." ucap Tante Vina yang membuatku terkejut.

"Apa?"

***

To be continue..

Should I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang