33

2.3K 305 10
                                    

Sydney, Malam Natal.

Aku menyesap kopi yang ada di depanku. Ini sudah gelas keempat dari kopi yang kuminum, dalam 2 hari ini. "Kafein tidak bagus untuk tubuh", aku pernah mendengar kata-kata itu. Tapi itu sama sekali tidak berpengaruh padaku. Aku butuh kopi. Butuh ketenangan.

Tadi malam, itu pertama kalinya aku membentak Kak Andy, marah kepada mama dan papa, membanting seisi rumah. Aku marah. Itu pertama kalinya emosiku lepas tanpa memandang siapa orang didepanku.

Besok adalah natal kedua tanpa Calum. Memang sih sebelumnya aku tidak pernah merayakan natal bersamanya, tapi keluarga kami pasti akan merayakan bersama. Dan besok adalah natal kedua tanpanya.

Aku menatap buku-buku jariku yang memutih dan mengeriput. Dingin. Aku ingin pulang, namun tidak bisa.

"Calista". Alena langsung duduk di kursi depanku. Ia menatapku cemas. "Lu kemana aja? Kenapa baru hubungin gue?".

Aku tersenyum tipis, "don't worry, I'm fine".

"Lu ikut gue ya? Keadaan lu lagi ga baik, lu tidur dimana semalem?". Alena. Orang tercerewet sekaligus paling kusayangi.

"Gue ga tidur, gue minum kopi". Entah kenapa Alena malah meneteskan air matanya setelah aku mengucapkan hal tadi. "Lu kenapa?".

"Lu lagi ga baik, gue kenal lu, Cals". Ucap Alena.

"Iya len, gue ga baik, gue lagi buruk-buruknya, gue jatuh len. Gue dijodohin sama mama dan papa". Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, yang kulakukan hanya menangis, dan memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan itu. "Gue bingung".

Alena menatapku kaget, "serius?".

"Iya, gue serius". Aku menyeka air mataku kasar lalu menatap ke arah jalanan yang sudah basah akibat hujan kemarin. "Tadi malam, gue dikasi tau kalo gue bakal dijodohin, sama anak temen mereka. Dan pernikahannya bakal dilakuin sehabis natal".

"Gue ngerti perasaan lo". Alena menggenggam tanganku erat. Namun sekarang, aku tidak butuh genggamannya. Aku butuh Calum.

"Gue ngamuk, gue ga mau dijodohin. Jadi gue kabur, lo tau kan janji gue sama Calum di airport 2 tahun lalu?". Alena mengangguk, "gue rela kabur cuma karena janji itu. Gila kan gue?".

"Lo gak gila, itu tandanya lo beneran cinta sama Calum. Lo itu tulus, artinya". Aku diam, aku sudah bosan menangis. Semalaman aku sudah menangis. Dan sekarang, aku tidak mau menangis lagi lagipula air mataku kering. "Menurut gue, lo terima aja perjodohan itu. Lo ga tau kabar Calum kan? Gue takutnya dia lupa sama janji itu. It's been 2 years, dan gue gak yakin".

Aku merenungkan perkataan Alena. Ada benarnya juga, karena siapa sih yang masih ingat ucapan singkat yang sudah 2 tahun lamanya? Lagipula, aku dan Calum sudah lost contact, benar-benar tidak mengetahui kabar masing-masing.

"Siapa tahu orang yang dijodohin sama elo, itu yang terbaik. Lo tau kan semua orang tua mau yang terbaik bagi anaknya? Dan pastinya, orang tua lo juga gitu". Ucap Alena lagi. "Lo bisa musuhin gue kalo ternyata perkataan gue salah".

"Len--".

"Mending sekarang gue anter lo pulang, karena besok hari natal". Alena menarik tanganku, dan aku masih mengikutinya. Aku mencerna seluruh perkataan Alena, mungkin yang diucapkannya ada benarnya juga. Tapi janji itu?

Janji adalah hutang.

Aku berhutang pada Calum untuk selalu menunggunya.

Tapi aku malah memilih jalan ini.

Melupakan janji itu.

***

Aku duduk di sofa kamarku menatap jendela kamar di seberang sana. Aku sudah membuat keputusan, aku menerima perjodohan itu. Tapi dengan satu syarat, sebelumnya aku ingin bertemu Calum.

Bodoh!

Memang aku bodoh, memilih mundur dan menerima perjodohan konyol itu. Aku belum tahu calon suamiku seperti apa dan mama bilang dia adalah mantan musisi. Aku tidak peduli, maupun dia mantan musisi, mantan politikus, mantan pejabat, aku tetap tidak peduli.

Ceklek.

"Kak Andy boleh masuk?". Aku hanya balas dengan deheman. Kak Andy lalu berjalan dan duduk disampingku dengan coklat panasnya. "turun yuk? Ada keluarga Hood dibawah".

"Big no". Ucapku langsung.

"Kakak ngerti perasaanmu, tapi ini buat kebaikan keluarga kita". Aku menghadap ke kak Andy dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Keluarga kita sedang krisis, papa hampir bangkrut, kakak harap kamu ngerti".

"Maksudnya, aku sebagai jaminan keluarga kita biar ga bangkrut?". Tanyaku sarkas. Kak Andy hanya diam dan terus menyesap coklat panas dicangkirnya. "What the hell?".

"Kakak harap kamu ngerti dek, kakak turun ya". Kak Andy berjalan keluar kamar dan menutup pintunya dari luar. Aku tetap merenungkan perjodohan konyol yang aku terima itu.

Andai saja Calum ada disini dan memaksa mama dan papa untuk membatalkan perjodohanku.

Andai.

Aku berjalan ke arah pohon natal kecil di meja belajarku. Aku suka pohon natal, namun aku tidak menghiasnya dengan hiasan pohon natal biasanya. Namun dengan quote favorite atau foto-foto.

Malam natal, semoga Calum duduk disampingku dan memelukku dari belakang.
- Calista







--to be continued--

Uwaa dikit bangettttttt wkwkwks nyesek ga sih?
Stuck banget tapi pengen update nih wkwwk next prt asap yo♥♥♥

The Reason I Love Tom : Calum HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang