26

2.2K 315 24
                                    

Bangku disampingku masihlah kosong. Calum belum juga dibolehkan pulang, katanya hari ini akan dibuka perban kepalanya. Kadang aku merasa bersalah padanya jika ia mengaduh pusing yang hebat. Ia seperti itu karena aku. Coba saja aku bisa menghalanginya waktu itu, coba saja aku tidak mengatakannya saat ulang tahun kami pasti kami meniup lilin 18 tahun bersama.

Dan disinilah aku, duduk sendiri dibangku taman. Egi berubah semenjak ia menjenguk Calum waktu itu. Ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan daripada denganku. Memang ia mengajakku tapi kalian tahu, aku tidak suka membaca buku.

Dengan langkah gontai aku menuju rumah sakit Calum dirawat, aku akan menemaninya membuka perban. Tidak setiap hari Aunty Joy bisa menemani Calum. Jadi ia lebih sering sendirian di rumah sakit.

"Calum". Ia tertidur. Mungkin sedang istirahat. Aku tahu dia bosan. "Get well soon, ba--". Kuurungkan melanjutkan kata-kataku. Kalian pasti tahu apa yang ingin aku ucapkan.

Aku duduk di sofa sambil memakan coklat yang aku beli saat akan kesini. Memperhatikan tidurnya saja sudah menjadi hal favoritku dari Calum. Kuputuskan untuk mengganti baju seragamku dengan kaus yang aku bawa dari rumah.

Setelah selesai, aku kembali memakan coklat. "Calista?".

"Ya?". Aku menghampirinya dan duduk di samping ranjangnya. "Gimana keadaan lo?".

"Tadi kepala gue sakit banget, Cals". Memang bantal yang ia gunakan untuk tidur sudah agak basah. Calum memang seperti itu, jika kepalanya sudah sakit ia pasti berkeringat deras.

"Kenapa ga manggil suster?".

"Mau melek aja pusing, yauda gue tahan sambil tidur". Dengan reflek, aku mengusap jidatnya pelan. Perbannya masih belum dibuka. "Lo mau jagain gue? jagain ya? gue males sendirian terus".

"Kan ada suster?".

"Gue malu cals. Apalagi kalo minta anter ke kamar mandi, malu cals. Mereka sih mau mau aja nganter gue ke kamar mandi soalnya gue ganteng. Tapi kan malu". Aku mendengus, ia masih saja menjadi orang yang tingkat kepedeannya tinggi. "Lo tau, mereka pada doyan sama gue karna gue ganteng". Aku memutar mata lalu duduk disofa meninggalkan Calum. Jika aku masih disana pasti ia akan melanjutkan kepedeannya itu.

"Mending simpen pikiran sok ganteng lu, cal".

"Udah bilang ke Egi kalo lu nungguin gue?". Aku menoleh pada Calum. Ia sadar kan apa yang ia katakan barusan? baru pertama kalinya ia peduli tentang Egi dan aku.

"Belum".

"Cepet bilang".

"Gue--".

"Bilang gih". Ucapnya memotong ucapanku. Dengan cepat aku mengirim pesan pada Egi. "Cals, kepala gue sakit". Ia mulai mengerjap-ngerjapkan matanya padaku. Dan sesekali melotot padaku seperti kehilangan kejelasan pada matanya. "Calis". Pekiknya.

Aku langsung menghampirinya, wajah memerah dan ia memegangi pelipisnya. "Tahan ya, gue panggil dokter". Aku langsung memencet tombol diatas kepalanya sambil menggenggam erat tangan Calum. Aku panik!

Tak lama kemudian, dokter serta suster masuk ke kamar Calum. Mereka cepat-cepat memeriksa Calum yang meronta-ronta memanggil namaku dan kata 'sakit' berulang kali. Aku? aku masih tetap berada di sampingnya. Lebih tepatnya di kaki Calum. Ia diberi suntikan entah suntikan apa dan itu membuat Calum langsung diam. Mungkin semacam obat pengurang rasa sakit.

"Bagaimana dok keadaannya?". Tanyaku pada dokter yang sudah selesai menangani Calum.

"Benturannya memang cukup keras, tapi tidak berpengaruh pada kerja otaknya. Jadi, jangan terlalu dikhawatirkan". Ucap dokter itu.

The Reason I Love Tom : Calum HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang