31

2.2K 342 8
                                    

Ujian hari terakhir akhirnya selesai, tinggal menunggu aku lulus atau tidak. Sekarang aku sedang duduk di auditorium sekolah. Sepi, sunyi dan gelap. Aku sedang ingin sendiri, tiba-tiba saja moodku hancur karena pengakuan Egi.

Ia akan pulang ke Vancouver.

iya, Egi akan pulang kesana karena tugas papanya sudah selesai. Sydney-Vancouver sangat jauh. Beda belahan dunia maupun samudra. Tidak mungkin aku dan Egi menjalani LDR, kalau mungkin, pasti tidak akan terbayangkan.

"Hei". Aku menoleh ke arah pintu. Disana Egi berdiri menatapku. Lalu ia mengambil tempat duduk disampingku. "Jangan terlalu dipikirkan".

"Jadi kau sengaja mengatakannya sehabis ujian?". Egi mengangguk. Aku langsung diam, aku tidak mau jauh dari Egi.

"Maaf". Lirihnya. "Aku juga merasakan hal yang sama denganmu". Aku diam, tidak memperdulikan Egi bicara. Karena itu sangat sakit. "Lagian aku disini cuma bisa melukai hatimu".

Aku langsung memeluk Egi, awalnya ia kaget namun langsung memelukku balik. Aku menangis di bahunya dan dia mengelus rambutku. "Tolong jangan pergi".

Aku terus menangis di bahu Egi, ia wangi dan selalu rapi. Aku memang tak salah menerimanya menjadi pacarku. Aku sangat sayang pada Egi.

"Cals, kamu aja ya yang ngucapin selamat tinggal". Jantungku berdegup kencang. Aku kaget setengah mati mendengar ucapan Egi.

"Jadi kita ga nyoba LDR-an?". Egi menggeleng. Memang hubungan jarak jauh itu sakit. Setiap hari disakiti rasa rindu, sebenarnya aku juga kurang suka dengan hubungan jarak jauh. Tapi aku sayang pada Egi.

Egi melepaskan pelukannya. "Calista Allison Harris, ayo ucapin selamat tinggal". Tangisku semakin membesar, aku tidak kuat untuk mengucapkannya. Itu sangat sakit. "Calista, ayo".

"Se..la..mat tinggal, Gi. Semoga kita bisa ketemu lagi, di hari yang beda, waktu yang beda, dan keadaan yang beda". Egi langsung memelukku kencang dan suara tangisku langsung keluar semua. Jika aku bisa memutar waktu, aku tidak akan menerima Egi jika akhirnya begini.

Egi melepas pelukannya dan menatapku. Ia menyeka air mataku, aku melihat matanya memerah mungkin ia juga ingin menangis. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Tinggal beberapa centi saja, aku sudah bisa merasakan deru nafasnya. "Ini untuk terakhir kalinya". Ucapnya dan bibir kami bertemu dan saling menerima satu sama lain.

***

"Cal". Calum menoleh sekilas, karena ia harus fokus kepada jalan di depannya. "Gue putus sama Egi".

Calum langsung mengerem mobilnya mendadak. Untung saja, jalanan sedang sepi-sepinya. "Serius? Kenapa?".

Aku diam sebentar, lalu aku menatap Calum yang juga sedang menatapku. "Dia pindah ke Canada".

Calum langsung memelukku erat, aku tidak membalas pelukannya melainkan menangis di dadanya. "I feel you". Lirihnya. Ia mengusap-usap punggungku sampai ke rambut.

"Gue ga mau Cal, ga mau". Aku menangis lagi didadanya dan Calum terus mencoba menenangkanku. "Heartbreak is not cool".

"Jangan nangis dong, kan masih ada Michael". Ucapnya.

"Hubungannya sama Michael apaan dah?". Aku mengadah menatap Calum.

"Kan bisa aja lu jadian sama Michael gitu". Aku menyipit tajam ke arahnya. Seperti ada yang Calum sembunyikan. Tapi aku tidak tahu apa itu. "Yaudah, jalan yuk? Nonton gitu".

"Oke deh". Calum melajukan mobilnya, ia tampak canggung sekarang. Sepertinya memang benar ada yang ia sembunyikan. Atau memang perasaanku saja?

Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di depan bioskop. Kami memasuki bioskop itu sambil bergandengan tangan. Okay, aku tahu itu tidak bagus apalagi aku baru saja putus. Tapi aku dan Calum belum resmi pacaran kan? Kupikir aku harus benar-benar menerima Calum mulai hari ini, eh tidak, besok saja mungkin atau mungkin kapan-kapan, masih harus kupikirkan.

The Reason I Love Tom : Calum HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang