Begitu portal terbuka, hamparan Pegunungan Lileon menyambut dengan keagungan yang seakan menembus langit. Tujuh punggungannya menjulang berderet, masing-masing memancarkan warna berbeda—biru, hijau, merah muda, lilac, peach, lavender, dan kuning—seolah pelangi yang dibekukan menjadi batu.
Legenda kuno mengatakan, pegunungan ini terbentuk dari langkah pertama Dewi Alria, satu-satunya dewi yang ada di dunia ini. Setiap langkahnya meninggalkan cahaya abadi yang membeku menjadi batu-batu raksasa, menjelma menjadi deretan puncak berwarna-warni.
Puncak biru berkilau seperti safir yang menyimpan kedalaman samudra. Hijau memantulkan kesuburan tanah, seakan padang rumput tak berujung tumbuh dari tubuhnya. Merah muda bersinar lembut bagai fajar pertama, sementara lilac membawa aura keanggunan yang tenang. Puncak peach bercahaya hangat, serupa sinar mentari senja yang tak pernah padam. Lavender menyebarkan ketenangan, aroma samar seolah tercium di udara. Dan puncak kuning, paling terang di antara semuanya, memancarkan cahaya yang dipercaya sebagai berkat langsung dari sang Dewi.
Bagi rakyat Kekaisaran Willouby, Pegunungan Lileon bukan sekadar bentang alam, melainkan jejak suci. Sebuah pengingat bahwa dunia ini pernah disentuh langsung oleh tangan ilahi.
"Seperti dilukis oleh monyet liar yang menumpahkan cat," kata Avelon begitu tiba di hadapan tanah yang menjulang itu.
"Kemana aku harus pergi? Pohon itu tidak memberitahuku harus pergi ke gunung dengan warna apa," Avelon bicara pada dirinya sendiri.
Avelon kembali mengangkat tangannya hingga sejajar dengan dada.
"Untuk menghancurkan gunung sebesar ini," ucap bocah itu dengan nada ringan, seolah sedang membicarakan hal sepele, "setidaknya butuh kekuatan yang seperti ini."
Di telapak tangannya, perlahan terbentuk sebuah bola hitam. Bukan sekadar hitam pekat, melainkan hitam yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya. Di dalam bola itu, pusaran cahaya hitam berputar lambat, seperti lubang tak berdasar yang siap menelan apa pun yang disentuhnya. Aura dingin dan menyesakkan memancar darinya, cukup untuk membuat udara bergetar tipis—seolah alam sendiri menolak keberadaannya.
Avelon seolah lupa...
Pegunungan yang akan dia hancurkan itu berada dalam rumah barunya, Kekaisaran Willouby.
Ah, benar.
Avelon datang kemari sebagai Avelon. Bukan sebagai Evander.
"Nah, gunung mana yang harus aku hancurkan lebih dulu?"
Mata Avelon bergerak perlahan, menyorot deretan pegunungan yang menjulang sepanjang cakrawala. Tatapan mata Avelon melompat dari puncak biru yang berkilau bagai safir, ke hijau yang subur, lalu ke merah muda yang memantulkan cahaya fajar. Sesekali cahaya hitam di telapak tangannya berdenyut, seolah merespons setiap gunung yang ia pandangi.
Udara di sekelilingnya menegang. Seakan-akan seluruh pegunungan menyadari ancaman yang hendak datang, meski tak satu pun bisa bergerak untuk melarikan diri dari sorotan mata sang naga.
"Aku benci merah muda, jadi—"
Belum sempat Avelon menyelesaikan ucapannya, gunung berwarna lilac bergetar. Seolah seseorang sedang menggerakannya demi menghindar dari serangan Avelon —yang kali ini jelas tidak sedang bermain.
"Kelihatannya ada yang sudah tahu kedatangan tamunya," kata Avelon, nada suaranya ringan seolah bergurau.
Dia mengepalkan tangan, dan bola hitam itu lenyap. Cahayanya padam begitu saja, meninggalkan udara yang masih bergetar samar. Dengan langkah santai, Avelon bergerak menuju gunung berwarna lilac—puncak yang memancarkan kilau agung, seakan menantang kehadirannya.
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
