Lilyana merebahkan dirinya di atas kasur. Mata birunya menatap cincin berwarna ungu di jari manis tangan kirinya.
"Kenapa Putla Mahkota membeliku cincin ini?" tanya Lilyana pada dirinya sendiri.
Memang ada banyak bangsawan yang memberinya perhiasan. Tapi, itu hanya sebatas kalung, anting, atau gelang. Tidak ada yang memberi cincin. Karena memang artinya yang sakral. Meski begitu, Lilyana tetap memakai cincin pemberian Avelon. Entahlah. Dia juga tidak tahu kenapa dia memakainya.
Mungkin karena cincin itu bukan cincin biasa. Melainkan ada sihir di dalamnya.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan," kata Lilyana. Menurunkan tangannya.
Masih ada waktu 3 jam sebelum makan malam dimulai. Itu waktu yang lama untuk menunggu. Jadi, Lilyana akan tidur saja.
Gadis itu mulai memejamkan matanya. Selimutnya yang lembut dan kasur empuk membuat kesadaran Lilyana menghilang. Melayang jauh dalam dunia mimpi yang terasa begitu nyata.
Dalam mimpi itu, Lilyana berdiri di sebuah tempat yang sangat aneh. Tempat asing yang begitu megah.
Langitnya bergulung dalam warna-warna yang tak dikenal—seperti aurora yang lupa cara bersikap anggun. Angin mengalir deras meski tak ada tanah atau pohon yang bisa disentuh. Di kejauhan, ia melihat jaring-jaring cahaya menggantung di udara, berdenyut lembut seperti napas. Tempat ini seperti bukan bagian dari dunia manapun—seolah takdir mencoretnya dari peta, tapi tak cukup berani untuk benar-benar menghapusnya.
Di hadapannya berdiri bangunan setengah runtuh, setengah ditopang oleh rantai-rantai bercahaya yang melayang di udara. Di atas reruntuhan itu, tertata singgasana yang lebih mirip tumpukan besi tua ketimbang tahta—namun aura yang memancar darinya membuat lutut Lilyana lemas.
Inilah Arkhana, tempat tinggal Dewi Pertama, Alria. Tempat yang tak bisa ditemukan di bumi, karena memang bukan bagian darinya.
Dari kejauhan, dua tangan raksasa terulur menembus kabut semesta—menyentuh, bahkan menggenggam bumi seperti mainan rapuh. Bukan tangan dari daging, melainkan dari cahaya dan logam dan suara-suara yang belum sempat menjadi doa. Dewi itu ada, tapi tidak hadir seperti manusia. Jiwanya tetap di Arkhana—mengatur takdir, berdebat dengan nasib, dan sesekali... memaki pilihan manusia.
Namun kadang, bila seorang manusia cukup nekat—atau cukup putus asa—ia bisa menemukan jiwa keduanya di bumi. Jiwa itu menumpang tinggal di tempat-tempat sunyi yang terasa terlalu sempit untuk kesunyian. Tempat yang membuat kalian merasa diawasi, meski sendirian. Dan jika kalian cukup berani untuk bicara, suara yang menjawab bukanlah gema, tapi suara perempuan—nyaring, cerewet, dan terlalu jujur.
"Oh, jadi itu kau," sebuah suara menusuk telinga Lilyana. Suara melengking khas seorang perempuan. Bedanya, perempuan yang satu ini sepertinya punya sihir penyaring suara.
Lilyana menatap sekitar. Seorang perempuan dengan rambut berwarna hitam yang berkibar layaknya kelopak bunga di tengah musim gugur berdiri di singgasana itu. Mata putihnya menyorot Lilyana dengan tajam. Namun, tidak terlihat menakutkan.
Perempuan itu tampak seperti serpihan malam yang diberi nyawa. Kulitnya pucat seperti batu bulan, namun sorotnya penuh kehidupan—liar, tajam, dan entah bagaimana... cerewet, bahkan sebelum ia berkata apa-apa.
"Akhirnya aku bisa melihatmu," katanya. Mulutnya tidak terbuka. Tapi, anehnya suaranya tetap terdengar. Tetap nyaring.
"Anda... siapa?" tanya Lilyana bingung.
"Alria," jawabnya singkat.
Lilyana diam. Alria? Maksudnya Alria yang itu? Dewi pertama sekaligus satu-satunya dewi di dunia ini? Bukankah dia tinggal di bawah kerak bumi? Apa mungkin perempuan ini menipunya? Tapi, mana mungkin ada seseorang yang duduk di singgasana sembari melihat bumi dari kejauhan?
ŞİMDİ OKUDUĞUN
I'm A Transmigrating Princess
Fantastik[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
