Lilyana menangis dalam waktu yang lama. Membuat dua pengasuh pribadinya menjadi kebingungan.
"Bagaimana ini, Amber? Haruskah kita memanggil Tuan Duke dan Nyonya Duchess?" Aisa bertanya pada putri dari adik ayahnya itu.
Amber menggelengkan kepalanya, "Sekarang Tuan Duke dan Nyonya Duchess sekarang pergi untuk pemeriksaan wilayah."
Kedua bersaudara itu terlihat semakin kebingungan. Mereka memang berharap putri kecil ini menangis barang satu kali saja. Tapi, mereka tidak berharap tangisannya akan selama ini. Terlebih, entah kenapa Lilyana terlihat sangat sedih.
Apa sekiranya yang bisa membuat seorang bayi berusia 2 tahun 2 bulan menjadi sesedih itu? Bukankah dunia seharusnya berupa pelangi dan permen kapas di mata mereka?
"Sshhh ... tidak apa-apa, Nona. Jangan menangis lagi, ya," Amber menaik turunkan tangannya. Berharap goncangan kecil itu akan membuat Lilyana menjadi lebih tenang. Tentu saja hasilnya nihil. Bayi perempuan kita masih tetap menangis.
"Apa anda lapar, Nona? Apa anda mau permen? Bagaimana dengan mainan lain? Ayo pergi melihat kuda. Anda suka kuda, kan?" Aisa berusaha mengalihkan perhatian Lilyana. Hasilnya juga percuma.
Aduh! Kalau begini jadinya, mereka berdua tidak akan pernah berharap Nona Termuda Noewera ini menangis.
"Aaf ... Afkan aku ... Aaf," Lilyana terus mengulangi kalimat yang sama di sela tangisnya. Diiringi dengan tangannya yang memeluk erat dua boneka yang sejak tadi dia bawa itu. Juga dua boneka yang menjadi alasan atas tangisannya.
Amber dan Aisa kembali saling tatap. Bukankah ini terlihat seperti Lilyana tengah meminta maaf pada boneka itu? Tapi, kenapa?
"Tidak apa-apa, Nona. Itu hanya boneka. Boneka tidak merasakan sakit. Jadi, tidak apa-apa jika anda bermain dengan sedikit berlebihan," Amber masih berusaha untuk menghentikan tangisan Lilyana sebelum dia dihentikan dari pekerjaannya karena dinilai tidak becus. Padahal kalau boleh jujur, ini adalah pertama kalinya dia melihat bayi menangis selama ini. Yang bahkan permen pun tidak bisa menghentikan tangisannya.
Lilyana menggelengkan kepalanya. Tidak. Ini jelas bukan sekadar boneka. Lilyana merasakan sebuah ikatan yang kuat dengan kedua boneka itu. Terasa seperti dia adalah ibu dari mereka berdua. Lilyana juga tidak tahu kenapa dia merasa seperti itu. Tapi yang jelas, dia yakin sekali dengan perasaannya.
"Rie..."
Amber dan Aisa menoleh. Menatap seorang pria _dengan surai merah layaknya api dan mata hijau yang seteduh pepohonan yang berjalan ke arah mereka. Kedua wanita itu kompak membungkukkan tubuh mereka.
"Maafkan kami, Tuan Duke. Nona Clarice tiba-tiba menangis. Kami sudah berusaha untuk menenangkan beliau, tapi tidak berhasil," Aisa menjelaskan dengan tubuh yang sedikit gemetar.
Jujur saja. Baik dirinya maupun Amber, keduanya sama-sama takut. Duke Noewera memang dikenal sebagai pemimpin yang baik. Tapi, dia bukan orang yang baik jika itu berhubungan dengan keluarganya.
Mereka jelas sangat beruntung jika berakhir dengan penjara bawah tanah dan bukannya kematian.
"Tidak apa-apa. Berikan Clarice padaku," kata Duke dengan nada suara yang terdengar panik dan khawatir meski wajahnya nampak datar.
Amber dan Aisa nampak terkejut. Apa benar semuanya berakhir seperti ini saja? Sungguh?!
Benar. Ini memang hal yang baik. Mereka tidak mendapatkan akhir buruk. Bahkan dipecat pun tidak. Tapi, tetap saja. Bukankah ini sedikit aneh?
"Kau tidak mau memberikan Clarice?" Duke bertanya dengan suara yang dia atur setenang mungkin.
Amber buru-buru menyerahkan Lilyana yang masih memeluk dua boneka itu meski dirinya berpindah ke tangan sang ayah.
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
