Transmigrating 17

1.1K 66 3
                                        

Waktu berlalu dengan sangat cepat. Sekarang, Lilyana kita sudah tumbuh menjadi bayi berusia 9 bulan yang sangat sehat. Itu berarti sudah 9 bulan juga sejak Lilyana membuka matanya dan terlahir sebagai anak bungsu di keluarga ini. Meski begitu, Lilyana masih belum membuka hatinya. 

Entahlah. Lilyana juga tidak tahu kenapa sulit sekali baginya untuk mempercayai orang-orang yang ada di sini. Lilyana tahu mereka bukan orang jahat. Tapi, entahlah. Lilyana juga sama sekali tidak mengerti soal dirinya.

Ah, benar.

Sebagai seorang bayi berusia 9 bulan, Lilyana seharusnya sudah melakukan banyak hal. Dia seharusnya jadi semakin lincah dan penasaran. Merangkak ke sana kemari, mencoba berdiri dengan berpegangan, bahkan melangkah perlahan meski masih tertatih. Tangannya seharusnya semakin cekatan, mampu menggenggam benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk sebelum memasukkannya ke mulut. Ia juga seharusnya mulai menunjuk sesuatu yang menarik perhatiannya, menggeleng jika tidak suka, dan mengoceh dengan suara khasnya. Dan, seharusnya ia juga dapat membaca ekspresi wajah orang di sekitarnya dan mulai memahami instruksi sederhana, meski terkadang memilih untuk mengabaikannya.

Kemampuan meniru gerakan dan suara seharusnya juga semakin berkembang, sehingga membuatnya tampak lebih interaktif. Ia seharusnya mencoba minum sendiri dari gelas kecil, mengenali namanya saat dipanggil, dan menunjukkan ketertarikan pada hal-hal baru. Namun, Lilyana tidak melakukan semua hal yang seharusnya itu.

Lilyana memilih untuk menjadi seorang bayi yang pendiam. Tidak melakukan apapun selain makan, tidur, dan buang air. 

"Apa Rie tidak bosan? Selama ini Rie baru keluar dari kamar satu kali, kan?" tanya Letisha yang berdiri di samping Lilyana.

Anak kedua Noewera ini jadi lebih sering mengunjungi Lilyana sejak dirinya diperbolehkan memakan makanan padat. Terkadang, Letisha memaksa untuk menyuapi Lilyana. Tapi, tentu saja, Jaisy, pengasuh Lilyana melarangnya. Letisha bahkan masih belum bisa menyuapi dirinya dengan baik. Jadi, daripada membuat masalah, Jaisy memilih melarang anak dari orang yang menggaji dirinya.

"Rie mau jalan-jalan dengan kakak tidak?" tanya Letisha denggan tatapan mata yang begitu berbinar.

Lilyana memandang Letisha dengan dingin. Itu adalah tatapan yang sudah biasa Letisha lihat selama 9 bulan ini. Itu menandakan jika Lilyana tidak tertarik. 

"Tidak mau?" Letisha bertanya sekali lagi. Memastikan.

Lilyana masih mempertahankan tatapan dinginnya. Letisha menghela napas. "Baiklah. Apa boleh buat. Rie sepertinya lebih suka ada di kamar." Letisha akhirnya menyerah.

Tatapan Lilyana berubah jadi tatapan kesal.

"Aku bahkan tetap diganggu saat berada di dalam kamar. Bagaimana mungkin aku bisa keluar?"

Lilyana menghela napas. Benar. Terakhir kali dia pergi dari kamarnya, dia justru bertemu dengan lorenzo. Saat itu, bocah yang nampak seperti brandalan itu memberikan mantel kesayangannya untuk Lilyana. Dan, itu membuat Lilyana merasa terbebani. Apalagi setelah dia tahu asal-usul mantel itu.

"Kalau Rie bosan, bilang saja pada kakak, ya. Kakak akan dengan senang hati membawa Rie jalan-jalan," kata Letisha yang kembali ceria.

Lilyana mendengus. 

Letisha menatap jam dinding besar di sudut kamar Lilyana, "Aduh! Sudah jam segini!" Letisha terlihat panik, "Kakak ada kelas tata krama. Jadi, kakak harus pergi." Wajah Letisha nampak sedih, "sayang sekali. Padahal kakak ingin lebih lama dengan Rie,"

"Tapi aku tidak." 

Tangan Letisha terjulur. Lilyana dengan cepat menutup matanya. Keningnya berkerut. Dia nampak ketakutan. Entah dengan alasan apa. Padahal, Lilyana tahu jika Letisha hanya ingin mengusap kepalanya.

I'm A Transmigrating PrincessWhere stories live. Discover now