"Maaf karena tidak mengenali anda, Sang Penanda," Lilyana membungkukkan tubuhnya. Memberi hormat.
"Tidak apa-apa. Aku memang terlalu hebat, jadi sulit untuk mengenaliku," katanya.
Lilyana berdiri tegak. Menatap Alria yang duduk di singgasanya. Di hadapan Dewi itu, Lilyana hanya nampak seperti sebutir debu di tengah luasnya samudera.
"Kau tidak bertanya mengapa aku memasuki mimpimu? Padahal aku paling anti ikut campur dalam urusan manusia," tanya Alria.
"Saya sudah tahu," jawab Lilyana serius.
Ini pasti ada hubungannya dengan ucapan Claramel 2 bulan lalu. Saat Lilyana masuk dalam pohon kehidupan.
"Benarkah?" Alria memastikan.
Lilyana menganggukkan kepalanya dengan mantap.
"Kalau begitu, jelaskan!"
"Karena kehadiran saya yang tidak diundang membuat takdir manusia di sekitar saya berubah dan menciptakan keributan besar,"
"Kau benar," Alria menjelaskan, "Aku membiarkan Claramel menarik jiwa manusia dari dunia luar dengan syarat dia sendiri yang membawanya. Dengan begitu, aku bisa menuliskan takdirnya. Tapi, kau bukanlah jiwa yang ia bawa."
Lilyana hanya bisa diam ketika Alria menatapnya. Tidak ada rasa marah dalam tatapan itu. Namun, itu juga bukan tatapan yang penuh kasih. Namun entah mengapa, Lilyana merasa seperti seluruh isi dunia sedang menghakimi keberadaannya.
Alria kembali menjelaskan, "Tapi, itu bukan masalah besar. Aku bisa menuliskan takdir untukmu. Masalahnya, kau melupakan ingatan tentang kehidupan pertamamu."
Ada jeda. Dingin mengalir di tengkuk Lilyana.
"Itulah yang membuat takdir manusia di sekitarmu berubah. Bahkan takdir orang-orang yang hidup lebih dulu darimu. Kau tahu kenapa?"
Lilyana menggeleng, pelan. Ia bahkan tak yakin mengerti apa yang dimaksud.
"Karena jauh sebelum kau di sini," suara Alria nyaris seperti bisikan yang menggema dari tulang belakang langit, "takdir sudah menuliskannya. Kau yang datang ke sini. Kau yang membawa ketidakseimbangan. Takdir sudah menulisnya. Bahkan eksistensiku adalah karena takdir,"
Lilyana menatap sosok itu—perempuan dengan rambut hitam yang berkibar pelan seperti kelopak musim gugur. Tangannya menggenggam bumi dari jauh, tapi tak pernah menyentuhnya.
Baru saat itu Lilyana mengerti.
Alria bukan penentu. Ia bukan pencipta. Dia juga bukan pengendali cerita. Dia hanya penjaga halaman-halaman yang sudah ditulis jauh sebelum siapa pun lahir untuk membacanya.
"Apa ada cara untuk menyeimbangkan takdir?" Lilyana akhirnya buka suara.
"Hanya satu," jawab Alria.
"Apa itu?" Lilyana menatap Alria dengan penuh harap.
"Jiwamu. Jika jiwamu menghilang, maka takdir akan kembali seperti semula," jawab Alria enteng. Seolah tidak peduli dengan tatapan penuh harap Lilyana yang berubah lesu.
Namun Alria belum selesai.
"Tapi, ada masalah lain," ucapnya, dan Lilyana tahu—kata itu bukan sekadar tambahan, melainkan pintu menuju beban yang lebih besar.
"Yang masuk ke dunia ini bukan hanya kau. Ada satu lagi."
Lilyana mengangkat wajahnya, perlahan. Hatinya mengejang, seperti baru menyadari bahwa dirinya bukan satu-satunya anomali.
"Aku curiga... dialah yang membawamu kemari."
Suara Alria tak berubah. Tetap tenang, tetap datar. Tapi setiap katanya seperti batu yang dijatuhkan ke dalam danau hening—membuat riak di dalam dada Lilyana, meluas dan membingungkan.
"Tapi kehidupan pertamanya masih ada... dia tidak sepenuhnya mengganggu garis besar. Dia hanya membuat takdir banyak orang berubah. Namun tidak menyebabkan kekacauan."
Lilyana menggigit bibir bawahnya. Lilyana tahu jika memang ada seseorang yang membawanya ke dunia ini. Tapi, Lilyana tidak menduga jika seseorang itu juga datang ke mari.
Kenapa? Apa tujuannya? Apa dia butuh teman? Atau, apa?
"Aku memberimu waktu," ucap Alria tiba-tiba. Nadanya berubah. Lembut. Hampir seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya. "Enam tahun. Saat usiamu enam tahun... maka jiwamu akan menghilang."
Lilyana terdiam. Kalimat itu menyayat, tapi dibungkus dengan suara yang terlalu pelan untuk disebut ancaman. Terlalu lembut untuk sebuah hukuman. Terlalu manusiawi... untuk sesuatu yang bukan manusia.
Bukankah itu... kalimat yang kejam? Kalimat yang tak seharusnya diucapkan dengan nada sehangat itu Seolah Alria baru saja menyuruhnya mati—tapi dengan hati-hati. Dengan senyum kecil dan bisikan nyaman.
Lilyana menelan ludah yang rasanya seperti batu.
"Jika jiwa saya menghilang," suaranya terdengar kecil, "bagaimana dengan tubuh saya?"
Alria menjawab tanpa ragu, dengan nada ringan, seperti sedang menjelaskan prosedur mengganti lilin di altar. "Claramel akan membawa jiwa lain."
"Mengisi... tubuh saya?" Pertanyaan itu menggantung seperti kabut.
"Iya."
Satu kata. Pelan. Sederhana. Tapi dingin seperti lubang kosong yang menanti.
"Karena sejak awal, tubuh itu memang bukan milik jiwamu,"
Lilyana merasakan tubuhnya sendiri seperti tak sepenuhnya miliknya lagi. Seolah ia hanya sedang menumpang. Dan waktu sewanya... sudah mulai dihitung mundur.
Ah, tidak. Bukan menumpang. Tapi merebut.
Karena jiwanya memang dipaksa datang kemari.
"Kau keberatan?" tanya Alria.
Lilyana terdiam sejenak.
"Bukankah kau memang tidak mengingingkan kehidupan ini? Kau dipaksa untuk kembali hidup padahal kau sudah mati, kan?"
Ucapan Alria membuat Lilyana kembali terdiam.
Itu memang benar. Tapi, entahlah. Ada bagian kecil dalam hati Lilyana yang mulai menerima kehidupan ini. Meski begitu...
"Aku tidak keberatan," kata Lilyana mantap.
"Baiklah! Sudah diputuskan!"
Bertepatan dengan ucapan terakhir Alria, sesuatu di belakang Lilyana mulai bergetar. Udara mengalir aneh, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Dan dalam sekejap, sebuah lingkaran bercahaya biru muncul di belakang punggungnya—berputar pelan, menghisap udara, cahaya, bahkan suara.
Sebelum sempat bertanya, tubuh Lilyana sudah terangkat. Ringan, seperti tak lagi punya akar di dunia itu. Lingkaran itu menyedotnya perlahan—tidak menyakitkan, tidak kasar. Justru terlalu halus. Seolah alam semesta sedang memindahkannya... dengan sangat sopan.
Ia sempat melirik ke arah Alria.
Sang Penjaga Takdir itu hanya berdiri diam. Tidak mengantar. Tidak menahan. Hanya menyaksikan, seperti ia selalu lakukan.
Lalu semuanya menghilang dalam cahaya.
Lilyana terbangun.
Napasnya memburu. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang asing namun nyata. Tubuhnya berkeringat, meski udara di sekeliling terasa dingin.
Ia mengangkat tangan. Itu tangannya. Ia masih di sini. Masih hidup. Tapi rasa itu belum hilang—rasa bahwa sebagian dari dirinya baru saja kembali dari tempat yang tidak seharusnya bisa dijangkau manusia.
Dunia nyata menyambutnya kembali.
Namun kata-kata Alria... masih menggema di kepalanya.
10 bulan lagi.
Jiwanya akan....
Menghilang.
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
Transmigrating 46
Start from the beginning
