Lilyana diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ucapan bocah di hadapannya ini seolah dirinya akan benar-benar melupakan Lilyana begitu saja. Yah, Lilyana tidak keberatan dengan fakta itu. Tapi, entahlah. Rasanya ada yang sedikit mengganjal di hatinya.
Avelon kembali memasang wajah tengilnya, "Baiklah. Aku rasa aku sudah bicara terlalu banyak,"
Bocah itu menjentikkan jarinya. Dan dalam sekejap, dia menghilang. Atau lebih tepatnya, Lilyana akhirnya kembali ke halaman depan aula pesta —tempat di mana dia seharusnya berada.
Lilyana menatap sekitar. Aneh.
Perasaan dirinya memang sudah berada di halaman depan istana.
"Dasar kau sialan!" sebuah teriakan membuat Lilyana tidak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Gadis kecil itu segera berlari. Mencari asal suara.
Kaki kecilnya menyusuri jalan setapak di halaman depan aula. Sembari berusaha agar tidak menimbulkan suara yang bisa menarik perhatian pemilik teriakan itu. Karena firasat Lilyana mengatakan dia tidak akan menyukai akibatnya jika entah siapapun itu menyadari kehadirannya.
Lilyana bersembunyi di balik sebuah semak belukar yang dipotong rapi membentuk persegi panjang. Semak itu berada tepat di belakang pemilik suara yang entah mengapa tidak terdengar begitu asing.
Lilyana buru-buru membekap mulutnya dengan tangan saat telinganya mendengar suara sabetan dan rintihan gadis kecil. Tangan mungil gadis itu menyelinap di balik ranting semak. Menyibaknya. Menciptakan sela yang lebih besar bagi matanya untuk menangkap apa yang ada di balik sana.
Dan yang Lilyana temukan adalah sesuatu yang sudah dia duga. Namun, tetap saja mengejutkan.
"Kau pikir kau pantas hidup setelah membuatku menikah dengan pria tua sialan itu?! Dasar anak tidak tahu diri! Andai saja jika kau tidak pernah lahir! Aku pasti tidak akan pernah menderita!" Countess Corvaline terlihat sedang memukul seorang gadis kecil dengan ranting pohon. Gadis kecil yang tak lain dan bukan adalah Daraline.
"Dasar anak pembawa sial!" Wanita itu tidak henti memukul Daraline yang berlutut sembari menahan suara tangisnya.
"Ampun, ibu! Maafkan Daraline," Daraline merintih dengan kedua tangannya yang menarik gaun ibunya.
Alih-alih merasa iba melihat putrinya, Countess Corvaline justru memukul Daraline dengan lebih kencang. Bahkan suara rintihan kesakitan gadis kecil itu pun tidak menghentikannya.
"Ibu... ampun... Daraline minta maaf!" Daraline terus memohon belas kasihan meski dirinya tahu itu percuma.
Seketika, darah Lilyana mendidih. Tanpa berpikir dua kali, gadis itu 'melompat'. Menunjukkan kehadiran dirinya. Membuat Countess nampak terkejut. Begitu juga dengan Daraline.
"Kau..." Lilyana menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mengepal.
"Nona Clarice, apa yang anda lakukan di sini?" Countess tersenyum dengan kaku. Wanita yang 2 tahun lebih muda dibandingkan Duchess itu segera menyembunyikan ranting kayu di belakang daunnya. Berusaha bersikap biasa saja meski tertangkap basah tengah memukul putri kandungnya sendiri.
Lilyana melangkah. Gadis itu membantu Daraline berdiri. Begitu melihat bekas sabetan di lengan Daraline, darah Lilyana semakin mendidih.
Ada bekas luka lain yang masih belum kering di lengan gadis itu. Dan, wanita yang seharusnya menyayanginya malah memberikan luka baru. Itu menjelaskan mengapa Daraline mengenakan gaun lengan panjang di musim panas.
"Apa yang kau lakukan pada Dalaline?!" tanya Lilyana sembari melempar tatapan galak pada Countess.
"Saya... saya hanya mendisiplinkan putri saya saja. Daraline sedikit nakal. Jadi, cara yang lembut tidak mempan padanya," Countess Corvaline membuat alasan.
"Jangan membuat alasan yang konyol! Dalaline anak yang baik! Kau saja yang jahat!" Lilyana berteriak. Tatapannya semakin galak.
Countess Corvaline menghela napas panjang, seolah menahan kejengkelan yang sudah lama mengendap.
"Kau tahu?" ujarnya, nada suaranya tajam namun tetap terdengar tenang, bahkan nyaris malas. "Aku sudah cukup bersabar menghadapi putri palsu sepertimu. Jadi jangan coba-coba menguji kesabaranku lagi. Lagipula..." Ia mencondongkan tubuh, menatap Lilyana dengan pandangan menghina. "Gadis sialan itu adalah putriku. Terserah padaku mau memperlakukannya seperti apa."
Nada suaranya yang santai justru membuat kalimat itu terdengar jauh lebih kejam. Ia bahkan tak lagi berusaha berpura-pura sopan. Semua topeng telah ia tanggalkan.
Lilyana menggenggam ujung roknya kuat-kuat. Tangannya bergetar. Matanya menatap tajam Countess Corvaline, penuh api kemarahan. Namun bukan karena disebut sebagai putri palsu. Bukan pula karena wanita itu tak lagi menghormatinya.
Melainkan karena seorang ibu—seharusnya menjadi tempat berlindung—telah berubah menjadi sosok paling mengerikan bagi darah dagingnya sendiri.
"Aku akan melapolkanmu ke Dewan Pellindungan Anak!" seru Lilyana lantang, menunjuk wajah wanita itu dengan gemetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang meluap tak terbendung.
Countess Corvaline terkekeh pendek, sebelum merapikan gaun bawahnya yang kusut akibat tarikan Daraline. Ia tersenyum seolah tak ada yang lebih konyol daripada ancaman Lilyana barusan.
"Laporkan saja," katanya enteng. "Tapi sayangnya, kau tidak punya bukti."
Lilyana menggigit bibir bawahnya. Ia tahu luka di lengan Daraline cukup menjadi bukti. Tapi Countess ini bukan wanita biasa. Dia licik, dan bisa dengan mudah melempar kesalahan pada siapa saja di sekelilingnya.
Namun sebelum ia sempat menjawab, suara lain tiba-tiba memotong ketegangan udara.
"Siapa bilang Nona kami tidak punya bukti?"
Semua kepala spontan menoleh.
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun melangkah maju dari balik bayangan. Angin malam seperti mengikuti langkahnya. Di belakangnya, berdiri makhluk-makhluk ajaib: seekor kuda bersayap, seekor phoenix menyala lembut, dan butiran salju melayang-layang di udara seperti menari mengelilinginya.
"Tigi!" seru Lilyana, matanya berbinar.
Tigi menoleh. Senyumnya muncul perlahan, penuh ketenangan yang menusuk. Ia mengangguk pada Lilyana, lalu mengangkat tangan, melemparkan sebuah bola kristal ke udara.
Bola itu melayang, berputar perlahan. Lalu menyala.
Sebuah rekaman muncul, seolah waktu diputar ulang di hadapan semua yang hadir. Terlihat jelas: Countess Corvaline menyiksa Daraline—bukan hanya malam ini, tapi juga malam ketika Count Corvaline meninggal... dan malam-malam kelam lainnya yang selama ini disembunyikan di balik dinding mansion yang megah.
Countess Corvaline terduduk. Lututnya tiba-tiba saja terasa lemas.
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
Transmigrating 41
Start from the beginning
