Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka dengan pelan. Erin masuk dengan langkah ringan, membawa sebuah nampan perak yang di atasnya tertata dua gelas puding susu berwarna lembut. Aroma manis dan lembut susu langsung tercium begitu ia mendekat.
Dengan hati-hati, Erin meletakkan puding itu di atas meja di antara Lilyana dan sang Duchess. Sentuhan tangannya ringan, nyaris tanpa suara, seolah sudah terbiasa menghadirkan kelezatan tanpa mengusik keheningan.
Lilyana, tanpa berkata sepatah kata pun, langsung mengambil sendok kecil dan mulai menikmati puding susu keduanya—dan kemudian yang ketiga, seolah rasa manis itu bisa sedikit menghalau dingin yang selama ini menghuni ruang hatinya. Ia menyendok dengan pelan, namun tak bisa menyembunyikan kenyamanan yang perlahan muncul di wajahnya.
Melihat itu, Duchess tersenyum. Senyum yang kali ini lebih tulus, meskipun tetap diselimuti sedikit kesedihan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
"Terima kasih, Erin," ucapnya hangat.
"Dengan senang hati, Duchess," jawab Erin sopan, membungkuk ringan seperti biasa.
Setelah itu, Erin kembali melangkah keluar dengan tenang, meninggalkan ruangan dan memberi ruang bagi ibu dan anak itu—dua sosok yang masih terikat darah, namun terasa seperti dua benua yang terpisah lautan sunyi.
"Itu sebenarnya adalah rencana yang sudah disusun sejak lama," ujar sang Duchess pelan. Nada suaranya tenang, tapi ada kegelisahan yang samar di balik ketenangan itu. "Namun sempat tertunda karena masalah Putra Mahkota... dan untuk menyelesaikannya tidaklah sebentar. Jadi..."
Kalimatnya menggantung di udara, seolah ia ragu untuk melanjutkan.
"Duke tidak bisa makan siang belsama saya untuk sementala waktu?" tebak Lilyana, suaranya datar tanpa emosi, hanya menyampaikan fakta.
Duchess mengangguk dengan pelan, seolah mengakui kesalahan yang tak pernah ia lakukan secara langsung. Ada beban di gerakannya, seperti permintaan maaf yang tak terucap.
"Tidak apa-apa," ujar Lilyana santai, sambil memutar sendok kecil di dalam gelas pudingnya. Sikapnya tampak tenang, bahkan nyaris acuh. Bagi Lilyana, itu memang hanya makan siang. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan.
Namun, berbeda dengan putrinya, Duchess tampak diliputi rasa bersalah. Sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. "Rie sungguh baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi, mencoba memastikan.
Lilyana kembali mengangguk. Ia tak tahu harus berkata apa selain itu. Di benaknya, ia hanya bertanya-tanya... apakah benar hanya karena ini Duchess datang jauh-jauh untuk menjelaskan? Apakah mereka benar-benar mengira ia akan salah paham? Mengira Duke membencinya?
Kalau pun iya, lalu kenapa? Apa yang akan berubah? pikirnya dalam hati.
"Meski begitu..." lanjut Duchess, kali ini suaranya lebih lembut, nyaris seperti bisikan, "Ayah berjanji akan menyelesaikan semuanya sebelum ulang tahun Rie."
Lilyana menghela napas pelan. "Tidak pellu telbulu-bulu," ujarnya, masih dengan nada santai khasnya, menyertakan pelafalan yang sedikit meleset, seperti biasa. "Itu kan bukan hal yang mudah."
Duchess menatap putrinya lekat-lekat, mencoba menembus dinding sunyi yang selalu menyelubungi anaknya. Raut wajah Duchess berubah. Wanita itu berusaha untuk terlihat ceria.
"Rie akan pergi ke Pohon Dunia untuk mendapatkan penjaga setelah pesta ulang tahun selesai,"
Gerakan Lilyana yang hendak menyendok puding susu terakhirnya terhenti. Dia sejenak lupa dengan masalah itu.
"Iya," Lilyana membalas singkat.
Duchess tersenyum.
"Keluarga Kekaisaran Willouby akan tinggal di kastil sampai urusan mereka selesai," ujar Duchess dengan nada hati-hati, seolah menimbang setiap kata. Ia menyeka sisa puding susu di sudut bibir Lilyana dengan gerakan lembut, penuh kasih seorang ibu. "Jadi, Rie akan lebih sering bertemu dengan Putra Mahkota dan Pangeran Kedua. Ibu harap... Rie bisa berteman baik dengan keduanya."
Lilyana membeku sejenak. Sendoknya berhenti di udara.
Berteman? pikirnya kecut. Dengan Putra Mahkota yang gila itu... dan adiknya yang tidak kalah gila? Tidak sudi.
Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi pikirannya langsung bergejolak. Bahkan rasa manis dari puding susu yang masih tersisa di lidahnya terasa hambar seketika. Dunia tempat para bangsawan itu terlalu penuh kepalsuan untuk bisa disebut "pertemanan".
Namun Lilyana hanya mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.
Jawaban itu dingin, nyaris datar. Bukan karena ia setuju, tapi karena itu adalah satu-satunya kata yang bisa segera mengakhiri percakapan ini. Dan itulah yang paling ia inginkan saat ini—keheningan. Ia tidak ingin memperpanjang topik tentang dua orang yang bahkan tidak ingin ia temui, apalagi sebut sebagai teman.
Duchess tersenyum kecil, entah karena merasa lega, atau hanya pura-pura lega. Dan Lilyana kembali menatap gelas puding di depannya, mencoba mengalihkan pikiran sebelum semuanya kembali mengganggu ketenangan yang susah payah ia bangun.
"Baiklah. Ibu sepertinya sudah mengganggu Rie terlalu lama," ucap Duchess lembut, kemudian bangkit dari kursinya dengan anggun. Sebelum melangkah pergi, ia menunduk sedikit, mengusap lembut rambut putrinya—sentuhan yang singkat, namun sarat makna. Kasih seorang ibu, yang entah diterima atau tidak, tetap ia berikan.
Lilyana tak menoleh. Ia justru membuang wajahnya ke arah lain, seolah ingin menjauh dari kehangatan itu. Bukan karena benci... tapi karena ia tidak tahu bagaimana cara membalasnya.
Langkah sang Duchess perlahan menjauh, meninggalkan kamar yang kembali sunyi seperti semula.
Mata Lilyana menyipit ketika menangkap dua sosok kecil yang kembali berlarian di taman di bawah sana. Wajah Lilyana langsung berubah. Ia memasang ekspresi tak suka, matanya menajam seperti elang yang tengah mengamati mangsa.
Lagi-lagi mereka...
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
Transmigrating 32
Start from the beginning
