"Iya, tapi kakak masih ingin bersama Rie," Rexave menyandarkan kepalanya pada pundak kecil Lilyana sembari menahan beratnya sendiri agar tidak membuat adik bungsunya itu merasa lelah.

"Tinggal 5 menit, loh," Lilyana mengingatkan sambil membuka kembali buku tebal itu.

"Kakak akan bolos saja," Rexave sekarang meletakkan kepalanya di pangkuan Lilyana. 

Lilyana menutup kembali bukunya. Gadis kecil itu menatap Rexave datar. 

Ada apa ini? Kenapa penerus Noewera yang selalu rajin dan taat ini tiba-tiba berpikir untuk bolos kelas? Apa bocah di samping Lilyana ini memang Rexave yang dia kenal?

"Kakak hanya bercanda," Rexave bangkit.

Lilyana melempar tatapan tidak suka. Rexave tertawa pelan. Bocah itu mengusap rambut Lilyana sekali lagi sebelum berdiri. 

"Sampai jumpa malam nanti, Rie," katanya.

Lilyana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Rexave pun melangkah pergi, langkahnya semakin menjauh. Gadis kecil itu menatap punggung kakaknya tanpa berkata apa-apa, hingga sosoknya perlahan menghilang di balik bukit.

Bukit kecil itu kembali sunyi. Hanya suara kicauan burung yang tersisa, mengisi keheningan yang mendadak terasa lengang. Lilyana terdiam sejenak, termenung dalam pikirannya sendiri, sebelum akhirnya menunduk dan kembali menatap halaman bukunya.

"Peraturan itu kemudian dihilangkan saat kaisar hanya memiliki anak perempuan. Untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, kekaisaran ini dipimpin oleh anak perempuan. Setelah itu, anak perempuan akhirnya memiliki kesempatan untuk lebih unggul dibandingkan anak laki-laki. Namun, Duke Noewera masih menganggap anak perempuan sebagai aib."

"Benalkah? Tapi meleka tidak menganggapku sebagai aib," Lilyana mempertanyakan isi dari buku tebal itu.

"Rie!" sebuah suara terdengar dari kejauhan.

Lilyana mengangkat kepalanya. Menatap arah sumber suara yang tak lain dan bukan adalah seorang gadis berusia 12 tahun berlari ke arah Lilyana. Rambut panjangnya yang berwarna merah terlihat seperti nyala api di bawah cahaya matahari. Mata oranye-nya bercahaya. Nampak seperti sebuah permata cantik yang berharga.

Kalian benar. Dia adalah Letisha—anak kedua dari Duke Noewera. Kini, dia telah tumbuh menjadi seorang gadis yang terlihat sangat anggun dan...

"Nona Peltama, hati-hati!" teriak Lilyana cemas.

Terlambat.

Letisha sudah lebih dulu terjatuh, terjerembab ke depan. Wajahnya mendarat dengan mulus—tepat di tanah.

Yah... sepertinya terlalu cepat menyimpulkan bahwa Letisha telah berubah menjadi gadis anggun dan lembut. Karena kenyataannya, ia masih sama saja seperti dulu.

Letisha mengangkat wajahnya yang dipenuhi rumput. Gadis itu tersenyum. Tanpa mengatakan apapun, Letisha berdiri. Kembali berlari. Lilyana hanya bisa menghela napas.

"Kenapa Nona Peltama datang ke sini?" tanya Lilyana.

Letisha duduk di samping Lilyana. Ikut menyandarkan kepalanya pada bahu kecil Lilyana.

"Karena kakak rindu dengan Rie," katanya.

"Tapi kita balu saja beltemu satu jam lalu," jawab Lilyana.

"Benarkah? Itu sudah lama sekali," 

Lilyana memasang wajah datar.

"Hei, bocah gila! Kenapa kau meninggalkanku dengan kudamu yang sama gilanya dengan dirimu itu?!" seorang bocah laki-laki seusia Letisha muncul dari balik bukit. Rambutnya yang berwarna coklat nampak sangat berantakan. Mata hijaunya menatap Letisha dengan galak.

Kalian benar. Dia adalah Lorenzo. Sama seperti Letisha, bocah satu ini juga tidak berubah banyak. Masih sama seperti dulu.

Letisha tak acuh. Sibuk mengusapkan kepalanya di pipi Lilyana yang kembali membaca.

"Kapan aku bisa hidup tenang tanpa meleka?" batin Lilyana.

"Hei, bocah gemuk! Aku bicara denganmu!" Lorenzo tidak terima.

Letisha melotot. Sebuah bola salju tiba-tiba muncul dari langit dan menghantam Lorenzo. Telak mengenai wajahnya.

"Sakit tahu!" protes Lorenzo.

"Siapa yang menyuruhmu memanggilku gemuk? Dasar sumbu pendek!" Letisha menjulurkan lidahnya.

"Siapa yang sumbu pendek? Dasar penyihir buruk rupa!" Lorenzo tak mau kalah.

Letisha berdiri. Sekarang dua bocah kembar itu saling berhadapan. Saling memelototi satu sama lain.

"Penyihir buruk rupa?! Beraninya kau! Dasar kentut ogre!"

"Kau mirip tikus got!"

"Wajahmu tidak ada bedanya dengan kotoran raksasa!"

"Badanmu seperti naga! Kulitmu sama seperti ular. Wajahmu buruk rupa. Kau..."

Letisha diam. Kedua tangannya mengepal. Gadis itu menggigit bibirnya. Menahan kesal. Lorenzo meneguk ludah. Sial! Karena terlalu kesal, dia sampai mengatakan kalimat terlarang.

Lorenzo menoleh. Menatap Lilyana yang berdiri di belakang Letisha. Meminta pertolongan. Lilyana menggelengkan kepalanya. Lorenzo kembali meneguk ludah.

"Ini semua kan salahmu. Jadi..." Lorenzo mundur secara perlahan.

"Beraninya kau!" Letisha menatap Lorenzo galak. Gadis itu langsung menjambak rambut adik kembarnya itu. Tidak lupa menggigit lengannya dengan kencang. Lorenzo mengaduh kesakitan. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Lilyana melangkah menjauh. Jika dia tetap berdiri di sana, Lilyana takut dia akan menjadi saksi pembunuhan.

Lilyana turun dari bukit itu dengan buku besar di tangannya.

"Apa tidak ada tempat di mana aku bisa membaca dengan tenang?" 

Kepala Lilyana menoleh. Mencari tempat yang aman dari gangguan keluarganya.

Saat itulah mata Lilyana menangkap seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dengan rambut hitam dan mata perak yang sedang berlarian di taman. Ada seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun yang mengejarnya dengan begitu bersemangat.

"Menjauh dariku, bocah gila!" teriak anak laki-laki berusia 9 tahun itu yang berlari dengan lebih kencang itu.

"Tidak mau! Aku suka kakak! Ayo bermain denganku!" balas si bocah kecil dengan suara lantang, tak kalah cepat mengejar meskipun kakinya lebih pendek.

Lilyana termenung. 

"Dia tampak tidak asing," kata Lilyana lirih.

Aneh. Padahal mereka tidak pernah bertemu. Jadi, kenapa Lilyana merasa familiar dengannya?


I'm A Transmigrating Princessحيث تعيش القصص. اكتشف الآن