Lorenzo menarik boneka di tangan Lilyana ke bawah. Lantas, menunjukkan wajahnya yang sengaja dibuat sedih. Tentu saja untuk menarik empati Lilyana. Itupun jika bayi mungil itu punya.
"Apa boneka naga jelek itu lebih penting dibandingkan kakak?" tanya Lorenzo lagi.
Lilyana memasang wajah datar. Dia kemudian melempar boneka itu ke sembarang arah. Lorenzo tersenyum. Merasa sudah menang. Sebelum akhirnya kembali tertampar oleh kenyataan setelah Lilyana berjalan menjauh dan mengambil boneka kadal.
Lorenzo benar-benar sedih sekarang. Bocah itu menatap Amber dan Aisa bergantian. Berharap dua pelayan itu tahu bagaimana cara menghadapi Lilyana. Namun, dua bersaudara itu kompak menggelengkan kepala mereka.
"Nona Bungsu juga selalu mengacuhkan kami dan bermain sendiri, Tuan Lorenzo. Jadi, kami berdua tidak tahu apapun," Amber menjelaskan.
Lorenzo menghela napas. Menatap punggung Lilyana yang duduk membelakanginya.
Ini jelas sangat aneh. Karena bayi perempuan istimewa lain selalu terbuka pada para pengasuh walau bersikap dingin pada keluarga. Sebenarnya, seburuk apa kehidupan adiknya sampai dia bersikap dingin pada semua orang?
"Walau Rie bersikap dingin, kakak akan tetap datang ke sini dan mengajak Rie jalan-jalan," kata Lorenzo.
Lilyana tetap acuh.
Lorenzo berdiri. Melangkah dengan perlahan ke arah Lilyana yang menatap kosong boneka kadal di tangannya. Tangan Lorenzo terjulur. Mengusap lembut rambut Lilyana yang dikuncir dua. Bayi berusia 2 tahun itu nampak terkejut. Akhirnya kepalanya menoleh.
"Jika Rie berubah pikiran, bilang pada kakak, ya." kata Lorenzo lembut.
Lilyana diam. Lorenzo mempertahankan senyumnya.
"Kelas sejarah akan segera dimulai, jadi kakak pergi dulu." Lorenzo berpamitan.
Dia melangkah keluar kamar Lilyana dengan perasaan yang campur aduk. Sedih sekaligus senang. Lorenzo sedih karena bayi kesayangannya itu masih belum mau menanggapi dirinya. Tapi juga senang karena Lilyana sudah membiarkannya mengusap rambutnya. Kalau dulu, Lilyana pasti akan memasang wajah kesal sampai Lorenzo menyingkirkan tangannya.
Lorenzo menarik tangannya. Bocah itu berjalan keluar. Meninggalkan Lilyana dan dua pengasuhnya yang selalu merasa jika mereka memakan gaji buta.
Bagaimana tidak?
Bayi perempuan yang mereka urus ini tidak pernah melakukan hal yang biasa dilakukan oleh bayi lainnya. Tertawa. Merengek. Berceloteh. Tersenyum. Atau, bahkan hal sederhana yang wajar seperti menangis. Lilyana tidak pernah melakukan semua itu.
"Apa anda benar-benar tidak ingin jalan-jalan, Nona? Saya dan Amber bisa membawa anda keluar jika anda mau," tanya Aisa pada Lilyana yang sekarang memeluk boneka kadal di tangannya.
Lilyana menoleh. Dia menggelengkan kepalanya sebagai balasan.
Aisa dan Amber saling tatap. Sudah 2 bulan sejak mereka bekerja sebagai pengasuh Lilyana. Tapi, tidak sekalipun mereka mendengar Lilyana mengeluarkan suara. Padahal, usianya sudah 2 tahun. Bukankah seharusnya dia sudah bisa mengucapkan beberapa kata? Ini jelas sangat aneh. Tapi yang lebih aneh lagi, keluarga bayi ini sama sekali tidak terkejut dengan keadaan putri termuda mereka.
"Bagaimana jika pergi jalan--jalan di dalam kastil? Anda sudah terlalu lama berada di dalam kamar," Amber mencoba membujuk Lilyana. Mau sesuka apapun bayi ini pada kamarnya, seorang bayi tetap harus menghirup udara segar agar tidak stress.
Lilyana masih menggelengkan kepalanya sebagai balasan. Dia sama sekali tidak tertarik dengan dunia di luar kamarnya.
"Anda tidak harus berjalan, saya dan Amber akan mengggendong anda. Atau jika anda ingin menaiki kereta bayi anda, kami berdua akan dengan senang hati mendorongnya," Aisa belum mengenal kata menyerah. Begitu juga dengan Lilyana. Dia menggelengkan kepalanya sekali lagi. Kali ini jauh lebih kencang dan tegas dibanding sebelumnya.
Amber dan Aisa menghela napas. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Bayi perempuan ini punya pendirian yang sangat kuat.
Lilyana menoleh, menatap dua boneka anak laki-laki yang tampak tak asing. Yang satu berambut hitam dengan mata putih, sementara yang lain berambut putih dengan mata ungu.
Ini memang terdengar sedikit konol, tapi Lilyana merasa jika dia sudah melakukan kesalahan besar pada kedua boneka itu. Yang meski dia berusaha memperbaikinya, tapi semuanya tidak berguna. Meski begitu, sekarang kedua boneka itu sudah baik-baik saja.
"Ya ampun, Nona! Kenapa anda menangis?" Amber nampak panik.
Lilyana sendiri terlihat bingung. Dia mengusap pipinya yang memang basah karena air mata.
"Ini aneh. Kenapa aku menangis?" Lilyana mengelap matanya.
Amber buru-buru menggendong Lilyana. Wanita yang memiliki seorang putri yang sebaya dengan si kembar itu mengusap punggung Lilyana yang justru menangis dengan lebih deras.
Dia memang selalu berharap Lilyana menangis barang sekali saja. Tapi begitu bayi perempuan ini benar-benar menangis, Amber justru jadi kebingungan sendiri. Tidak hanya Amber, Aisa juga terlihat panik dan bingung. Terlebih, keduanya tidak tahu apa yang membuat bayi yang sangat pendiam ini menangis tiba-tiba.
Bukankah Lilyana sedang bermain dengan santai tadi? Jadi, kenapa dia tiba-tiba menangis?
Entah. Itu juga bukan pertanyaan yang bisa Lilyana jawab.
Hatinya entah kenapa terasa sangat sakit. Dia seperti merindukan orang di balik dua boneka itu. Tapi, siapa? Kenapa Lilyana merindukannya? Dan yang lebih penting, kenapa dadanya tiba-tiba saja terasa sesak? Sesak sekali sampai rasanya Lilyana tidak bisa bernapas.
"Aaf ... Afkan aku" Lilyana bicara di sela tangisnya. Lilyana memeluk kedua boneka itu dengan kencang meski dirinya sendiri berada dalam pelukan Amber.
Amber dan Aisa saling tatap. Keduanya nampak kebingungan.
Bukankah ucapan Lilyana terdengar seperti, Maaf, maafkan aku. Tapi, meminta maaf pada siapa?
Hah! Padahal ini adalah pertama kalinya mereka mendengar Lilyana bicara. Tapi, yang dia katakan justru kalimat aneh yang tidak tahu ditujukan pada siapa. Meski begitu, entah kenapa Lilyana terlihat sangat sedih.
"Tidak apa-apa, Nona. Anda akan baik-baik saja," Amber mengusap punggung Lilyana yang masih menangis.
Aisa melakukan hal yang sama, "Saya tidak tahu apa yang membuat anda sedih, tapi saya harap anda tidak terlalu larut dalam kesedihan itu,"
Lilyana masih menangis. Tidak ada satu pun ucapan atau tindakan dari kedua pengasuhnya yang bisa menenangkan hatinya.
Sampai akhirnya Duke datang.
YOU ARE READING
I'm A Transmigrating Princess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Spin Off ITVAHM Kebahagiaan. Itu adalah kata yang sangat sulit Lilyana rasakan selama hidupnya. Tapi, di kehidupan kedua yang diberikan Avelon, naga yang mencintainya, Lilyana akhirnya bisa merasakan kebahagiaan. Clarice Ex...
Transmigrating 21
Start from the beginning
