"Sepertinya bermain-main denganmu terlebih dahulu akan sangat menyenangkan bukan?" ucap Ravion, ia mendekat sembari memejamkan mata begitu hembusan napas Zeyra yang terengah-engah menerpa kulit wajahnya.

Air di sudut mata Zeyra mengalir ke pipi. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Zey tidak punya masalah denganmu. Mengapa kau menculikku? Apa salah Zey?" tanyanya lirih.

Mata Ravion terbuka, memandang raut penuh ketakutan Zeyra. "Salahmu? Apa ya? Tidak tahu."

"Tapi sepertinya kau adalah gadis kesayangan si bajingan itu. Menurutmu apa yang akan dia lakukan begitu melihat gadis kesayangannya berada dalam genggaman musuh, hm?"

Napas Zeyra tercekat kala jemari Ravion menyentuh sisi wajahnya. Lelaki itu mendekat seraya berbisik tepat di telinga Zeyra. "Bagaimana jika dia tahu bahwa gadis kesayangannya sudah lebih dulu aku sentuh?"

Plak! Tamparan keras berhasil dilayangkan oleh Zeyra mengenai pipi Ravion. Wajah laki-laki itu tertoleh ke samping beserta tubuhnya yang mundur.

"Jaga ucapanmu!" ujar Zeyra, menatap tajam dengan penuh keberanian. Walaupun begitu, ia menahan rasa sakit di telapak tangan.

Ravion tersenyum tipis, terkekeh lantas tertawa. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. "Hahaha, aku tidak menyangka."

Zeyra menelan ludah gugup, dia bergidik ngeri ketika Ravion menatap remeh dirinya. Lalu tanpa aba-aba, lelaki itu kembali menjambak rambutnya, kali ini lebih kasar. Zeyra memekik kesakitan.

"Ternyata kau tidak bisa diberi kesabaran, sialan!" umpat Ravion. Tanpa perasaan dia menampar pipi Zeyra. "Baiklah, mungkin kau lebih suka aku bertindak kasar padamu."

Tubuh Zeyra terangkat saat mendapat cekikkan di leher. Dia memegang erat kedua tangan Ravion. Bulir-bulir air mata mengalir deras di kedua pipinya. Napasnya tersendat, lehernya terasa panas.

Ravion tidak peduli. Dia merasa harga dirinya terinjak saat mendapat tamparan dari gadis sialan itu. Kedua matanya berkilat marah, bersiap membunuh Zeyra detik itu juga.

"Menyingkirkanmu sangat mudah bagiku. Kau gadis sialan yang telah membuat gadisku menangis. Akan kupastikan kau mati di tanganku." Ravion ingat ketika Camela menemuinya, mengadu sembari menangis pilu. Camela, gadis yang sangat ia cintai. Geogra telah merebut seluruh perhatian Camela, maka Ravion pastikan akan melakukan hal yang sama. Ravion pastikan Geogra akan hidup sengsara setelah mendapat kabar tentang kematian kekasihnya itu.

Raut wajah Zeyra memerah disertai kening yang mengerut, memperlihatkan bahwa gadis itu tengah menahan rasa sakitnya. Mulutnya terbuka, berusaha meraup udara di sekitar. Tepukan brutal di tangan Ravion tak membuat lelaki itu menghentikan aksinya.

"T-tolong..." bisik Zeyra terbata. Gadis itu menangis dalam hati. Apakah hari ini adalah hari terakhirnya hidup di dunia? Tidak, Zeyra tidak ingin mati. Dia ingin bertemu dengan keluarga Zergant yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Dalam benaknya hadir sesosok wanita yang selalu tersenyum dan memperlakukan dirinya dengan lembut.

Lalu sosok laki-laki yang selama ini mengisi hatinya. Zeyra memejamkan mata, bibirnya bergetar dengan isak tangis tertahan.

"Geogra..." gumamnya, sedih.

Mendengar itu, Ravion terkekeh kecil. "Kau berharap apa? Bajingan itu tidak akan datang. Sungguh aku tidak sabar melihat bagaimana reaksinya saat aku melempar mayatmu ke hadapannya," ujar Ravion kejam. Dia tertawa menggelegar.

Zeyra menggeleng lemah. Pasokan udara semakin menipis. Bola mata Zeyra bergerak ke atas. Dia sudah diambang batas. Pegangan tangannya melemah. Tubuhnya sudah lemas tak berdaya.

GEOGRAOnde histórias criam vida. Descubra agora