***

Pagi ini, Alesa bersama Zeyra sedang berkutat di dapur dibantu oleh dua orang pelayan. Mereka berinisiatif membuat sarapan. Walaupun sebenarnya Alesa dan ibunya sudah melarang keras dan menyuruh Zeyra untuk tetap beristirahat. Tetapi Gadis keras kepala itu berkata bahwa dirinya sudah baik-baik saja.

Alesa melirik Zeyra, dia tersenyum kecil. "Apa benar kau sudah baik-baik saja?" tanyanya. Ia tidak tega melihat wajah Zeyra yang masih sembab. Semalam mereka telah banyak menghabiskan air mata, menangis sambil berpelukan. Zeyra tak lagi menyembunyikan tentang perasaannya. Dia meluapkan segala keluh kesahnya pada Alesa.

"Iya, Alesa. Sudah berapa kali Zey katakan bahwa Zey baik-baik saja," balas Zeyra, menghela napas.

"Hm, baiklah. Aku percaya."

"Wah, rajin sekali anak-anak." Seorang pria paruh baya datang menghampiri bersama Verly, ibu Alesa.

"Iya, Pah. Alesa, kan, memang rajin sejak dulu," jawab Alesa, mengibaskan rambutnya. Zeyra segera menunduk sopan melihat kedatangan orang tua Alesa.

"Nak Zeyra, bagaimana kondisimu sekarang? Apa sudah merasa lebih baik?" tanya Fian, ayah Alesa. Zeyra yang ditanya menganggukkan kepala.

"Sudah, Om."

"Astaga, panggil aku Papa saja, seperti Alesa. Kau tidak perlu sungkan, Nak," kata Fian, terkekeh. Alesa beserta Verly mengangguk setuju atas ucapan Fian.

"Benar itu, Zey. Anggap saja orang tuaku, orang tuamu juga," timpal Alesa.

Zeyra tersenyum kecil, "Baiklah." Ia menatap keluarga harmonis itu. Tiba-tiba teringat keluarga Zergant. Ada rasa rindu yang menyeruak di hatinya. Bagaimana keadaan mereka di sana? Apa mereka baik-baik saja? Bagaimana dengan Mommy Rashel dan Giselle?

Zeyra tidak tahu bagaimana reaksi mereka semua mendapati bahwa dirinya hilang. Mungkinkah mereka membenci Zeyra? Gadis itu tersenyum sendu. Tidak perlu ditanyakan lagi, sudah pasti mereka akan kecewa padanya. Walaupun mereka telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Tapi sudah pasti mereka akan lebih mempercayai Camela dibandingkan dirinya.

Tepukan pelan di bahu, menyadarkan Zeyra dari lamunannya. Alesa memperhatikan Zeyra sejak tadi. Raut wajahnya terlihat cemas.

"Ada apa? Kau baik-baik saja? Apa yang sedang kau pikirkan?"

"E-eh, tidak ada, Alesa," jawab Zeyra, gugup.

"Kau yakin? Wajahmu masih terlihat pucat."

"Tidak, tidak apa-apa. Sekarang di mana Zey meletakkan ini?" tanya Zeyra, memperlihatkan makanan untuk sarapan. Alesa menghela napas, kemudian membantu Zeyra menyiapkannya di meja makan.

"Duduk di sampingku, Zey." Alesa menarik kursi di sebelahnya. Mempersilakan Zeyra untuk duduk dan ikut bergabung sarapan bersama keluarganya.

"Omong-omong, Zeyra masih sekolah?" tanya Fian, disela-sela sarapan.

"Zeyra sama sepertiku, Pah," timpal Alesa. "Tapi sekolah di Zergant School, benar, kan, Zey?" Zeyra mengangguk membenarkan ucapan Alesa.

Kening Fian mengerut, dia mengusap dagunya mencoba mengingat-ingat. "Zergant School? Bukankah pemilik sekolah itu Arkielga Zergant?"

"Papa tahu?" tanya Alesa.

"Ya, siapa memangnya yang tidak tahu? Arkielga Zergant sangat terkenal. Semua orang sering membicarakannya. Rencananya perusahaan Papa ingin bekerja sama dengan perusahaan Zergant."

Verly mengoleskan selai pada roti. Ia menyiapkan roti tersebut pada dua piring kemudian diserahkan untuk Alesa dan Zeyra. "Makan yang banyak ya."  Zeyra tersenyum tak enak sembari mengucapkan terima kasih.

GEOGRAWhere stories live. Discover now