"Ada apa dengan adikmu itu, Kak Geo? Mengapa ia marah melihat kita berdua di sini? Bukankah itu wajar? Lagipula sebentar lagi kita akan bert—K-Kak Geo?" Ucapan Camela terpotong bersamaan dengan napasnya yang tercekat. Kedua tangan gadis itu memegang lengan kekar Geogra.

Sepertinya Camela telah memancing emosi Geogra. Laki-laki dengan wajah memerah itu mencekik lehernya. Bahkan dia menyeret Camela hingga  punggungnya membentur dinding dengan keras.

Camela menjerit kesakitan. "K-kak l-lepaskan..."

Namun, Geogra menulikan pendengarannya. Dia amat sangat membenci gadis sialan itu. Jika saat ini ia sedang tidak menjalankan rencana bodoh atas perintah ayahnya. Mungkin Camela sudah ia lenyapkan detik ini juga.

Camela tersungkur ketika Geogra menghempaskannya. Dia terbatuk-batuk sembari memegangi leher yang memerah. Gadis itu meringis merasakan lehernya berdenyut nyeri.

"Keluar!"

Camela menelan ludah, bulu kuduknya merinding. Bisa saja ia membujuk laki-laki itu tetapi saat ini Geogra terlihat berbeda. Demi acara pertunangannya, akhirnya Camela memilih mengalah. Ia berjalan tertatih keluar dari ruang kamar itu. Tepat saat ia telah keluar, suara geraman laki-laki itu terdengar bersamaan dengan pecahan barang dari dalam sana.

Gadis itu mengusap dadanya. Dia mengatur napas. Menetralkan degup jantungnya. Walaupun Geogra berbuat kasar padanya, tetapi keputusan Camela tetap sama. Dia sudah bertekad. Ingin hidup bersama Geogra. Laki-laki yang sangat ia cintai. Laki-laki yang sangat ingin dia miliki.

Camela akan berusaha membuat laki-laki itu luluh. Camela sangat yakin, lambat-laun perasaan Geogra padanya akan tumbuh, pikirnya.

***

Mendengar suara isak tangis, Alesa terbangun dari tidurnya. Dia melirik ke arah tempat tidur Zeyra kemudian buru-buru beranjak dari sofa menghampiri sahabatnya yang menangis dalam tidurnya.

"Zeyra?"

"Tidak. Ibu, ayah, nenek. Jangan tinggalkan Zey..." gumam Zeyra. Cairan bening menetes ke pipinya.

Panik, Alesa mengguncang pelan bahu Zeyra. "Hei, Zeyra."

"Jangan tinggalkan Zey! Ayah, ibu!"

"Zeyra bangun. Zeyra," panggil Alesa, kini menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu.

Tangis Zeyra semakin menjadi disertai hidungnya yang memerah. Alesa yang tidak tahu harus melakukan apa, ia beranjak keluar dari kamar memanggil ibunya.

Tak lama kemudian ia kembali bersama seorang wanita memasuki ruang kamar. Alesa terkejut begitu melihat Zeyra yang sudah membuka mata. Dia mendekat kemudian mengucapkan syukur.

"Zeyra, akhirnya kau sadar."

Zeyra dengan wajah sembab terus menangis. Dia terus memanggil ayah dan ibunya membuat Alesa menatap iba. Gadis itu melirik ibunya yang dibalas anggukan kecil.

Perlahan ibu Alesa mengusap puncak kepala Zeyra guna menenangkan. "Zeyra, apa kau sudah merasa baikan? Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?"

Zeyra yang sesenggukan seketika terhenti. Gadis itu menatap ibu Alesa dengan pandangan berkaca-kaca. Lantas tiba-tiba memeluk ibu Alesa membuat Alesa kebingungan.

"Ibu jangan tinggalkan Zey," lirih Zeyra, memeluk erat.

"Bun?" Alesa mengatupkan bibir ketika ibunya menggelengkan kepala.

GEOGRAWhere stories live. Discover now