002

341 13 6
                                    

Grey menatap malas Ana yang hari ini ikut mampir ke apartemennya. Beberapa saat yang lalu, saat hendak pulang bersama (yang ke sekian kalinya), Arya menelfon untuk meminta Grey ikut membawa Ana ke rumahnya karena pria itu dan istrinya sedang ada acara di luar kota dan akan pulang larut malam.
Kenapa Grey malah membawa Ana ke apartemen pribadinya? Karena Caca dan Gio di jam segini sedang tidak ada di rumah, Caca akan berkunjung ke kantor suaminya untuk makan siang bersama dan akan pulang sore nanti bersama dengan Gio tentunya. Jadi, daripada ke rumah yang jaraknya lebih jauh, mending melipir ke apartemen saja.

"Mau makan apa? Biar saya pesenin," tanya Grey, ketika Ana sudah berganti baju dengan kaos kebesaran miliknya, meski bawahnya masih mengenakan rok SMA.

"Aku udah kenyang tadi makan di cafetaria, tapi..."

Grey mengangkat satu alisnya, seolah meminta penjelasan lebih.

"Aku pengen makan pancake," sambung Ana, berhasil buat Grey menghela napas. Ia bukan seperti Bimo atau Jordan yang memang jago dalam hal masak memasak. Meski Angelo pernah memuji masakannya waktu itu, tetap saja Grey sudah putuskan untuk tidak memasak karena selagi ada teknologi seperti gofood, kenapa harus ribet? Lagian, Angelo banyak bercandanya, Grey jadi tidak bisa bedakan mana omongannya yang serius dan mana yang bohong.

"Yaudah ini hape saya, pesan sendiri kamu mau yang mana," jawab Grey, dengan tidak rela menyodorkan ponselnya, padahal ia sudah ingin mabar tadi karena Ana bilang sudah kenyang. Alhasil, cowok itu beralih menghidupkan Play Stasion sambil menunggu Ana selesai dengan ponselnya.

Ana menerima ponsel Grey dengan antusias, ia langsung saja menggulir layar ponsel dengan tampilan default itu karena tidak memiliki password. Tapi, bukannya membuka aplikasi yang Grey bilang, ia malah membuka media sosial cowok itu, lebih tepatnya melihat direct message dan WhatsApp  miliknya.

"Woah, banyak banget yang ngechat Abang. Ih, tapi cewek semua, genit dih!"

Grey menoleh, hentikan permainannya dengan decakan kesal.

"Siapa yang suruh kamu buka chat saya?" tanyanya, berhasil buat Ana menciut.

"Maaf," cicitnya.

Grey ambil alih benda pipih itu, buat Ana makin menunduk takut.

"Kalo orang lagi ngomong tuh dilihat mukanya, emang ada pantulan wajah saya di lantai, hm?" Ucapan Grey lagi-lagi buat Ana menciut. Astaga, kalau saja Ana tidak jatuh cinta dengan cowok itu, sudah pasti ia akan mengeluarkan jurus tantrumnya.

"Katanya mau pancake, kenapa buka aplikasi lain?"

Ana diam, masih takut dengan Grey, meski ia sekarang sudah saling tatap dengan cowok itu.

"Ana, kenapa ga jawab pertanyaan saya?"
Suara Grey melembut. Tahu betul kalau Ana tidak bisa dikasari.

"Engg, itu... Ana ga suka pancake yg beli, biasa dibuat Bunda,"

Grey menghela napas, kenapa tidak bilang daritadi? Tahu begitu ia sudah bisa push rank.

"Yaudah itu isi dapurnya lengkap, sana buat sendiri," final Grey kemudian berlalu dari sana, sisakan Ana yang hendak protes tapi tidak berani.

Ana mendesis begitu panasnya cipratan butter yang ia oleskan pada wajan, sepertinya ia menggunakan terlalu banyak butter, salahkan Amela dan Arya yang larang keras gadis itu untuk melakukan pekerjaan di dapur, alhasil takaran butter saja ia tidak tahu. Apalagi wajan yang ia pakai masih ada sisa air usai dibilas tadi.
Dengan pelan, ia tuangkan adonan pancake alakadar yang campurannya pun ia karang sesuai feelingnya.

"AH ABANG TOLONGIN!"
Teriakan Ana, berhasil buat Grey melompat dari atas sofa, persetan dengan game yang belum selesai ia mainkan, dipause pun tidak sempat.

"Kamu kenap--YA TUHAN, ANA!" Grey menggeram kesal, tatap gadis yang sudah duduk dengan wajah yang ditutupi kedua tangannya. Ada bercak minyak atau mungkin butter pada tangan gadis itu. Suasana dapur sepenuhnya berantakan, tepung dimana-mana, cangkang telur, oh jangan lupakan spatula yang tergeletak mengenaskan di tanah, serta adonan yang sudah gosong di wajan.

Grey menghela napas pelan, tekan amarahnya yang sebenarnya sudah akan meledak. Dengan cekatan ia matikan kompor, kemudian berjongkok di depan Ana.

"Mana yang sakit?"

Ana membuka wajahnya yang ia tutupi dengan tangannya, hingga terlihatlah airmata yang menggenang serta isak tangis yang belum mereda.

"Ini hiks, perih tangan aku keciprat—hiks—an minyak hiks," Ana mulai mengadu, buat Grey berikan tiupan pada bercak merah bekas terkena minyak itu, masih bungkam.

"Ab-abang maaf hiks, Ana minta maaf," lagi, Ana bersuara, buat Grey menatapnya intens, tanpa ekspresi tentunya.

Grey bawa tubuh mungil itu untuk ia gendong ala bridal style, setelah posisinya sudah pas, ia bawa Ana untuk duduk di sofa.

Dengan telaten, Grey oleskan salep khusus luka bakar yang selalu ada di kotak P3K miliknya, maklum beberapa kali ia pun ceroboh ketika sedang membuat kopi atau mie instan.

"Selesai. Sekarang kamu duduk disini, jangan kemana-mana kecuali toilet. Kalau ngantuk langsung tidur aja di sini, kali ini tolong nurut, Ana," ucap Grey, kemudian berlalu dari sana.

 [Wellington's 1] MY POSSESIVE GREYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora