52

175 3 0
                                    

Arya tidak main-main dengan kalimatnya. Pria itu kini sudah berada di kamar Ana yang sedikit berantakan karena suasana hati pemiliknya yang sedang buruk.

"Ayah boleh ngomong sama adek? Sebentar aja," ucapnya, sebelum mendapat belasan berupa anggukan dari Ana.

Arya menghela napas, sebelum merengkuh tubuh lemah milik putri kecilnya. Ia bawa tubuh rapuh itu ke dalam dekapan hangat dalam pangkuannya.

"Anak ayah sudah besar yah? Gak kerasa banget, padahal baru kemarin rasanya ayah gendong kamu yang belom bisa jalan. Eh, sekarang udah jadi istri orang," Arya memulai percakapan dengan nostalgia, mencoba pancing Ana untuk ingat memori indah dengan harapan gadis itu akan tersenyum.

Nihil. Ana masih tetap sama. Diam, dengan pikiran yang berkelana entah kemana.

Arya tersenyum maklum, elus lembut pundak putrinya yang memang kacau sekali penampilannya. Perkara sabar, ia memang juaranya.

"Adek ingat ga, dulu waktu ayah lagi sedih, kamu yang datang dan peluk ayah. Kamu selalu kasih ayah pelukan hangat, tanpa minta ayah jelasin alasan ayah sedih itu kenapa,"

Ana menoleh sebentar, sebelum beri jawaban dengan anggukan singkat. Buat Arya tersenyum, setidaknya putrinya mendengarkan.

"Ana, mataharinya Grey, Kesayangannya ayah. Kehilangan itu manusiawi sayang, karena memang ga ada yang abadi di dunia ini. Kalau kata pepatah, semuanya hanya titipan. Sama seperti kamu dan abang yang jadi titipan untuk ayah dan bunda, Tuhan juga titipkan bayi ke kalian. Ayah tau, kamu sama Grey sayang banget sama dia. Tapi, setiap hal yang terjadi kan udah dikehendaki sama Tuhan, dan ayah percaya kalau kehendak Tuhan itu selalu jadi yang terbaik untuk umatnya. Ana, mulai sekarang kita belajar rela dan iklas sama-sama yah? Bayi pasti bahagia di atas sana, dia juga mau Ibu sama Ayahnya bahagia juga. Bisa kan sayang?"

Ana terdiam. Namun, airmata sudah kembali membasahi pipi tirusnya. Hal itu tentu saja buat hati Arya tercubit.

"T-tapi, kalau Ana ga nekat nyetir malam itu adek pasti masih disini ayah," ucap Ana, mulai terisak. Kembali mengingat kejadian malam itu, ketika ia dengan nekatnya menyetir mobil untuk pergi ke kantor Grey, padahal ia dilarang keras oleh dokter. Alhasil, Ana keguguran akibat kecelakaan kecil yang sialnya buat benturan keras pada perutnya.

Arya dekap putrinya, ia pun turut menangis dalam pelukan itu.

"Sayang. Tuhan pasti punya rencana terindah buat kamu. Ayah tau kamu pasti bisa lewatin semua ini, apalagi ada Grey yang selalu sayang kamu dan ada di sisi kamu. Tapi, ingat sayang. Yang kehilangan bukan cuma kamu, ada Grey yang juga terpukul. Dia harus tetap kuat demi kamu, supaya kamu juga bisa bertahan bareng-bareng lagi. Tapi, kalau kamu yang jadi mataharinya redup, apa dia masih bisa kuat? Sudah yah? Bisa kan kita iklaskan adek bayi?"

Ana diam, bahkan setelah Arya pamit untuk keluar dari kamar putrinya. Mungkin ia pun sudah mulai lelah untuk membujuk Ana agar mau iklas dengan keadaan. Namun, Arya tahu. Perkara kehilangan tidak pernah mudah. Apalagi kehilangan orang tersayang. Arya tahu dengan sangat baik bagaimana rasanya hal itu. Karena jauh sebelum Ana kehilangan bayinya, Arya sudah lebih dulu merasakan kalutnya ditinggal saudara dan orangtuanya di saat yang bersamaan. Beruntung, Reyhan dapat selamat dalam kecelakaan itu. Jika saja tidak, Arya mungkin tidak akan sanggup untuk berdiri setegar sekarang.

Grey tatap ayah mertuanya yang baru saja duduk di depannya.
"Gimana yah? Ana mau?" tanya pria itu, tanpa basa-basi.

Arya menggeleng. "Kita kasih dia waktu dulu yah. Ana sudah terlanjur sayang sama bayi, jadi, sedikit lama memang untuk iklas. Kamu, harus tetap kuat yah nak!" jawab Arya, buat Grey menghela napas sebelum mengangguk. Perkara kehilangan, memang susah untuk diakhiri dengan cepat. Seperti kata Arya, biar waktu yang bantu Ana untuk berdamai dengan keadaan.

***

 [Wellington's 1] MY POSSESIVE GREYWhere stories live. Discover now