55. Percikan

150 14 0
                                    

“Walaupun kamu sudah bersamanya, tapi aku akan selalu tetap menyayangimu sepenuhnya.”
~Imam~

Happy reading. . .
# # # # # # # # # #

  Sesampainya di toilet wanita, Putri kemudian dilempar sampai tubuhnya merasakan dinginnya lantai toilet yang lembab.

Brruugghh

“Aauuu.” Rintih Putri, merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

  Moli melihat kain pel tersandar di sebelah pintu masuk toilet, dan langsung meraihnya. Setelah tangannya memegang pel, Moli lalu menekan perut Putri menggunakan gagang pel yang terbuat dari kayu.

“Aaagghhh.... sakit!!” Rasa sakit yang tadinya mengujur di seluruh tubuhnya, sekarang berkumpul dan berpusat di perutnya.

“Kalau saja bayi ini gak ada, mungkin Rajes sudah jadi milik gue.” Ucap Moli, memperlihatkan rasa kebenciannya yang tergambar jelas di matanya.

  Kemudian Moli menekan perut Putri lebih keras lagi, membuat Putri merintih lebih keras juga.

  Sama seperti sebelumnya. Semua orang di luar toilet yang mendengar jeritan Putri hanya diam saja, seperti tidak sedang terjadi apa-apa.

“Please kak, sakiitt...” Ucap Putri memohon yang terdengar mulai parau.

“Gak akan. Sebelum bayi yang ada di perut lu mati.” Tolak Moli penuh penekanan di kata ‘mati’.

  Melihat wajah Putri yang mulai pucat, Sofi pun mencoba untuk menghentikan temannya. “Mol, sudah mol. Dia sudah mau pingsan.”

“Iyah, sudah kayak orang mau mati.” Imbuh Rita membela Sofi.

“Bagus dong. Jadi gue gak punya saingan lagi.”

  Mendengar kata-kata sikopat Moli, Sofi dan Rita serempak menarik Moli untuk keluar dari sana.

  Tapi... karena Moli memberontak hebat, cengkeraman Sofi dan Rita pun terlepas. Dan dia terlihat berlari kembali mengambil seember berisi air perasan pel, dan kemudian menyiramnya ke tubuh Putri yang tengah lemah dilantai.

Byuurrr

  Setelah itu Sofi dan Rita pergi dari toilet tersebut, sembari menarik Moli dengan sekuat tenaga.

  Selepas mereka pergi, Putri meringkuk memegangi perutnya yang terasa amat sangat sakit. Air mata yang sedari ia bendung pun juga kembali tumpah melalui pipinya dan berakhir di lantai toilet.

Di tengah-tengah isakannya, Putri bergumam dengan suara parau, “umi, tolong! Perut aku sakit banget.”

“Abi, tolong! Aku gak kuat bangun.”

“Rajes, tolong! Rasanya seperti mau mati.”

  Lama kelamaan kesadaran Putri mulai menurun. Tapi, sebelum ia pingsan ia sempat mendengar sayup-sayup seorang memanggil-manggil namanya.

* * * * *

  Sudah lebih dari satu jam Putri berada di ruang UKS, namun belum sadar juga. Tapi, walau begitu pun seorang pria yang terlihat sedang tersenyum dan mata yang berkaca-kaca, masih senantiasa menunggu Putri disebelahnya.

“Nih, biar lu gak pengar.” Ucap Tolle yang baru datang, dan menyodorkan sebotol obat pereda mabuk.

“Makasih le.” Jawab Imam, menerima obat tersebut, dan langsung meminumnya.

“Sama-sama.” Balas Tolle. “Gimana kabarnya Putri?” Lanjut Tolle bertanya.

“Masih sama seperti yang lu lihat sekarang.”

  Saat setelah perbincangan sederhana itu selesai, tiba-tiba terdengar suara parau Putri mengigau memanggil-manggil ibunya, “umi..”

  Sontak Imam langsung memanggil dokter Ara, yang bekerja di UKS sekolah. “Bu Ara, bu Ara.”

  Mendengar namanya dipanggil, dokter Ara segera berlari menuju ranjang Putri, dan kemudian memeriksanya dengan menggunakan alat stetoskop yang sedari tadi mengalung di lehernya.

“Dia tidak apa-apa, hanya mengigau biasa. Mungkin sebentar lagi dia akan kembali sadar.” Ucap dokter Ara, setelah memeriksa detak jantung Putri.

  Sesuai dengan ramalan dokter Ara. Baru beberapa menit dokter Ara pergi ke ruangannya, Putri akhirnya mulai membuka matanya perlahan.

“Aku dimana?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari orang-orang yang baru siuman.

“Kamu sekarang ada di UKS. Tadi kamu pingsan di toilet.” Jawab Imam.

“Terimakasih Imam, Tolle.”

“Iya, sama-sama.” Jawab mereka bersamaan. “Jangan lupa berterima kasih juga sama Kiki. Karena dia lah yang memberi tau kita, kalau kamu sedang dirundung oleh Moli dan antek-anteknya.” Lanjut Tolle, memberi tau kalau sahabatnya juga ikut membantunya.

“Baiklah. Aku boleh titip ucapan terima kasih aku buat Kiki ke kamu?” Tanya Putri yang langsung dijawab “iya,” dan beberapa anggukan kecil dari Tolle.

“Aku pergi duluan yah.” Pamit Tolle.

  Setelah keluar dari UKS, Tolle pun bertemu dengan Kiki yang sedari tadi menunggu Putri di luar UKS.

“Bagaimana keadaan Putri?” Tanya Kiki, saat melihat Tolle keluar dari dalam UKS.

“Dia sudah sadar.”

  Mendengar jawaban tersebut, perasaan Kiki akhirnya menjadi lega. “Syukurlah.”

“Kamu gak mau masuk?”

“Nanti aja deh.” Sebenarnya dia ingin masuk dan menjenguk sahabatnya. Tapi, dilain sisi ia juga sangat kecewa karena Putri telah membohonginya.

  Di dalam ruang UKS. . .

“Wajah kamu kenapa?” Putri baru ngeh, kalau wajah Imam terlihat babak belur seperti habis berkelahi.

“Tiga hari yang lalu aku habis jatuh dari motor.” Jawab Imam tersenyum hangat seperti biasanya.

“Udah periksa ke rumah sakit?”

“Belum.” Imam menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kemudian tersenyum lagi.

“Kenapa belum? Kalau terjadi apa-apa gimana?”

“Aku gapapa kok.” Imam tersenyum, bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran Putri. “Lagian kalau aku kenapa-kenapa juga gak ada yang ngaruh.” Lanjut Imam bergumam lirih.

  Namun sekecil apapun suara Imam, kalau berada di tempat yang cukup sepi pasti akan terdengar juga. “Kata siapa nggak ada yang ngaruh? Kalau kamu kenapa-kenapa, nanti yang godain siswi-siswi kelas 12 siapa dong?”

  Sontak Imam terkejut dengan pertanyaan terakhir Putri. Bagaimana dia bisa tau kebiasaan Imam saat sedang gabut?

“Kamu setiap hari ngikutin aku yah?”

“Idih, geer banget. Aku cuma sering lihat kamu jalan-jalan di koridor kelas 12 doang.”

# # # # # # # # # #

First Love (End)Where stories live. Discover now