28. Story Of You

89 15 8
                                    




"Kau lapar?"

"Ah....aku lupa berbelanja hari ini" Namjoon membuka kulkas, bertolak pinggang kemudian mengusap tengkuknya.

"Kubuatkan susu hangat ya..." Ia berbalik dan mendapati Seokjin tengah menatapnya tajam, menunggu kesempatan bicara itu datang dari balik meja makannya.

Namjoon mendengus tersenyum dan menghampirinya.
"Maaf....."

"What do You wanna know first?"

"You...." Seokjin terus menatap kedua mata itu.

Keduanya pun duduk berhadapan di meja makan kosong.

Sesaat kemudian Namjoon berdiri, berjalan menuju lemari dapurnya, mengeluarkan sebotol Whiskey dan meneguknya lalu kembali duduk setelah menarik bangkunya mendekat.

Hening. Hanya detak jantung dan tatap mata tajam menunggu pria berdimple yang tertunduk itu memulai ceritanya.


"Seokjin...." Ia menelan ludah, membasahi bibirnya singkat lalu tersenyum sebelum memanggil namanya lembut.

"Setelah ini...."

"Aku siap......jika kau ingin pergi dan meninggalkanku"

"Aku sudah siap.....aku harus siap..."

"Itu konsekuensi yang harus kutanggung" Namjoon mengangkat kepalanya, sorot mata sayu itu seolah ingin mengabadikan sosok yang masih menunggu di hadapannya.


"Ayah....."
Ia berdehem singkat sebelum memulai ceritanya. Tatap matanya tak lepas dari Seokjin yang masih mengerutkan dahi dari ucapannya beberapa detik lalu.

"Adalah orang yang keras kepala"

"Selalu menyuarakan isi hati dan kepalanya pada semua hal yang bertentangan dengan pendapatnya"

"Menempuh segala cara untuk mencapai keinginannya, baik atau buruk, beliau tak peduli"
"Terhadap orang-orang, atasan maupun bawahanya ketika beliau telah menjadi seorang komandan"

"Dan....terhadap keluarganya..."

"Ibu seorang perawat"

"Mereka bertemu saat bertugas di luar kota, ibu merawat ayah yang menjadi korban saat beliau menyelesaikan sebuah kasus"

"Beliau selalu menganggapku asing"

"Memilikimu adalah sebuah kesalahan......begitu katanya..."

Kedua alis Seokjin terangkat, menelan ludah perlahan dan meremat jemarinya erat di bawah meja.

"Mereka bukan pasangan yang harmonis"

"Berpapasan tiap hari di dapur tanpa mengucap selamat pagi, apalagi senyum dan kecupan mesra seperti orangtua lainnya"

"Beliau menyiapkan sarapan, pergi kembali ke kamar, keluar dengan seragam putihnya kemudian pergi dengan hanya tersenyum dingin dan berpesan agar aku tidak rewel"

"Atau beliau akan mendorongku ke luar rumah dan mengunci pintunya"

"Walau malam itu hujan badai sekalipun..."

"Sekeras apapun aku menangis dan memukul-mukul pintu diantara suara petir dan angin, ibu tidak akan menyuruhku masuk sampai emosinya mereda"

Seokjin memejamkan matanya erat, menggigit bibir bawahnya pedih.

"That's why You hate the rain so much...."

Namjoon mengangguk terkekeh.

"Ayah sering menghabiskan waktunya di rumah"

"So practically I was raised by Him...."

"Jika ingin menyalahkannya.....beliau yang membentukku hingga seperti ini"

"Membahas suatu kasus bersama rekan-rekannya sambil mabuk kemudian pergi saat malam hari untuk....."

"For example.....menjebak orang tak bersalah seperti tahanan itu...."

"Beliau mendapatkan promosi dengan mudah menggunakan cara licik seperti itu"

"Not to mention, rekan kerjanya yang tersebar dimana-mana"

"Mata-mata, hacker, orang-orang kaya yang disegani kepolisian....seperti itulah koneksinya"

"He's nearly untouchable..."

"Hingga suatu saat ibu yang sudah tidak tahan dengan kelakuan beliau, menjebaknya..."

"Bersama dengan seorang intel yang juga kekasih gelapnya"

"Ayah tumbang dengan sebuah peluru bersarang di paru-paru"

"Setelah menghabisi nyawa istri dan kekasihnya"


Kedua mata Seokjin membelalak, berulang kali ia menelan ludahnya.


"Cabut alat bantu napasnya dan jangan menangis"
"Itu kalimat terakhir yang ayah katakan"

"Ayah menyesal...."
"Ia tidak punya lagi alasan untuk hidup"

"Dan aku menurutinya....."
"Beliau pun pergi menyusul ibu..."

Peluh mulai membasahi keningnya, bergerak tak nyaman dalam duduknya. Jemari yang bertaut di atas meja itu sekilas bergetar sebelum ia menariknya untuk bersilang di depan dada.

"Aku?"

"Aku tumbuh dari latar belakang seperti itu"
"Paman dan bibi merawatku sejak mereka pergi"

"Menyuarakan segalanya....itu alasanku menjadi seorang jurnalis"

"I do feel sad...."

"Aku manusia...." Ia memiringkan kepalanya dan kembali tersenyum.

"I just don't know how to express them anymore...." Setengah berbisik Namjoon mendesah pelan.


"I need some air....."

Ia beranjak dan berjalan cepat membuka jendela balkonnya. Berdiri menopang tubuh dengan kedua tangan yang meremat pinggiran besi di depannya.


"Apa yang telah kau lakukan, Seokjin!" Ia membekap erat wajahnya dengan kedua tangan.
Membungkuk hingga kepalanya menyentuh meja kemudian bergegas menghampiri sang pria yang masih membelakanginya.


"Aku siap, Seokjin....."

Langkahnya terhenti ketika Namjoon berbalik, tersenyum dengan wajah pucatnya.

"Aku siap jika kau ingin pergi meninggalkanku"
"Maaf jika aku tidak bisa menjadi orang yang kau inginkan"

"Maaf aku bukan Jaehwan....." Kelopak matanya terpejam erat.


Sesaat kemudian tubuh besar itu telah berada dalam dekapannya.

"Maaf......aku minta maaf Namjoonie...."

"Kau bukan dia....dan aku tidak ingin kau menjadi dia"

"Aku mencintai pria yang berada disini sekarang..."

"Aku mencintaimu, Namjoonie...."


Namjoon tersenyum lega dalam dekapan erat Seokjin. Tubuhnya terkulai pasrah.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang