5. Finally Meeting You

148 17 0
                                    




Dasi yang tersimpul rapi melingkar di kerah kemeja putih. Jas biru tua senada dengan celana bahan juga sepatu yang dipoles mengkilat terlihat sangat elegan dalam cermin di hadapannya.

Namjoon menyisir surai abu-abunya ke belakang dan mengecek penampilan sekali lagi sebelum berangkat menuju calon tempat kerja barunya.




Taksi itu berhenti tepat di depan sebuah gedung megah bertangga lebar.
Ia mempercepat langkah, kemudian berlari ketika butiran air halus mulai membasahi jasnya.

"Tidak tahukah langit jika aku akan memulai karir baruku hari ini"

Kaki jenjangnya terus berjalan melewati beberapa orang yang terlihat seperti dirinya. Jas, sepatu mengkilat juga map besar dalam dekapan.


Pintu toilet itu mengayun terbuka, Namjoon masuk dan mengambil beberapa lembar tissue untuk mengeringkan rambut, wajah serta bahu jasnya.

Di sebelahnya beberapa pria tengah melakukan hal yang sama.

Ia pun bergegas keluar.


Ruangan yang terlihat seperti aula itu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang untuk duduk menunggu di tempat mereka.

Namjoon tetap di tempatnya berdiri. Menyandar di salah satu sisi pilar besar yang menjulang di setiap sudut ruangan.

Matanya berkeliling menatap para peserta wawancara.

Sesaat nyalinya mulai ciut. "Bagaimana jika aku tidak diterima?"

"Kantor berita yang dulu tidak sebesar ini"

"Dan...." Sebuah pemandangan mengusik lamunannya.

Payung lipat dengan warna tak biasa di antara sekian banyak payung teronggok di sisi luar satu kursi.

Ia menegakkan tubuhnya, menoleh kanan dan kiri, memicingkan mata kemudian berjalan mendekat.

Jemarinya terulur perlahan.


"Kita harus berhenti bertemu seperti ini..."
Suara tawa kecil di balik bahunya membuat Namjoon berjengit kaget.

"Kim Seokjin..." Pria bersurai coklat itu mengulurkan tangan.

Kedua alis terangkat ketika tubuh kaku itu berbalik. Kemudian turun seiring terlihatnya sosok yang selama ini terus menghantui sisi lembut pikirannya.

Desah lega seolah ia telah menemukan harta karun yang lama hilang pun berhembus.

Senyum manis pria yang masih sabar menunggu balas jabat tangan itu membuat Namjoon turut mengangkat kedua sudut bibirnya.

"Kim Namjoon. Hallo...."
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu"

"Maaf aku tak mengenalimu kemarin lusa"
"Um...." Seokjin melirik bergantian pada mata yang menatapnya senang dan jabat tangan yang belum juga terlepas.

"Maaf..." Namjoon menarik tangannya cepat.
"B-bagaimana kameramu? Rusak kah?"

Seokjin menggeleng dan tersenyum geli menatap sang pria setengah membungkuk dengan mata dan bibir membulat khawatir.

"Kameraku baik-baik saja..."
"Walapun seharusnya aku meminta ganti" Ia tersenyum nakal.

"Ah...syukurlah" Namjoon menepuk pelan dadanya lega.

"Jadi....apa yang harus kuganti?"

"Tidak ada Namjoon.....aku bercanda" Tawa ringan pria itu membuat pipinya terasa hangat.

"M-makan siang...."
"Setelah ini maksudku...s-setelah interview ini selesai"

"Boleh?" Namjoon mengusap tengkuknya yang mulai berkeringat.

Seokjin tersenyum tak menjawab.

"M-maaf....aku tidak bermaksud lancang"
"Anggap saja sebagai tebusan perasaan bersalahku"

Senyum itu berubah menjadi tawa. Seokjin mengangguk.

"Akan kutunjukkan kedai Ramen terenak yang pernah kumakan"

"Okay.....okay..okay!" Membelalak nyaris terlonjak, Namjoon melebarkan senyumnya sebelum masing-masing pergi ke tempat duduk untuk menunggu giliran wawancara.

.

.

.

"Kau gugup tadi?" Pertanyaan itu mengawali perjalanan bus mereka menuju pinggiran kota.

"Mmm...tidak juga..."

"Waktu melihat banyak orang yang akan mengikuti interview, aku gugup..."
"Tapi ternyata tidak terlalu menakutkan" Pria berdimple itu terkekeh pelan.

"Kau?"

"Lumayan...." Seokjin tersenyum, rona merah mulai mewarnai ujung telinganya.

"Jika kita gagal bagaimana?" Namjoon menaikkan alis dan terkekeh pelan.

"Aku akan melamar lagi jika ada kesempatan" Pria itu tersenyum lebar dengan mata berbinar.

"Kau serius menginginkan pekerjaan ini Seokjin?"

"Aku bosan berpindah-pindah terus Namjoon..." Kedua mata mereka bertemu.

"Sudah saatnya aku menetap di suatu tempat"

PetrichorWhere stories live. Discover now