25. Survival's Guilt

88 12 0
                                    




Namjoon berjalan cepat keluar dari gedung yang telah porak poranda, menyerahkan mikrofon dan melepas earpiecenya.

Para petugas keamanan berlalu lalang, begitu pula dengan petugas medis yang membawa para korban.

"Hey....ada apa?" Jackson berlari menghampiri sang pria yang masih terlihat kesal.

"Tidak apa-apa...." Ia menjawab singkat dan bergegas naik ke dalam van untuk kembali ke kantor.

"Kau membeku saat tahanan itu baru memulai ceritanya, Namjoon"

"And we didn't get enough story for this weekend"
Jackson mendengus kesal pada pria yang duduk di mobil berseberangan dengannya.

"We will, Jackson.....we will"
"I know the whole story" Namjoon mengusap wajahnya kasar.

"Is there anything You need to tell me?" Jackson mendekatkan kepalanya.

Namjoon mengangguk. "Not here...."

"Akan kuceritakan di kantor" Berusaha tersenyum, Namjoon kemudian memalingkan wajahnya.





"Ayahmu yang menjebloskannya?" Pria bersurai pirang itu duduk bersandar di tepi mejanya. Menatap lekat Namjoon dengan dahi berkerut dan tangan terlipat di dada.

"Dia hanya korban, Jackson..."

"Hanya berandalan yang membutuhkan uang untuk kehidupan baru bersama istrinya"

"Sialnya ia bertemu dengan partner bisnis gelap mendiang ayah, menuruti perintahnya untuk mengedarkan obat-obatan dan senjata api dengan iming-iming uang dalam jumlah luar biasa"

"Tahanan itu juga seorang pemakai, Namjoon..."
"Mereka telah melakukan tes dan menemukan sejumlah zat berbahaya dalam tubuhnya" Jackson menghela napas sebelum berbicara.

Namjoon menggeleng. "Penjara sebelum ini digunakan untuk penebusan kesalahan, Jackson..."
"Sekarang teralis besi itu berfungsi untuk menghukum, apapun alasannya"

"Dan aku tidak menyalahkan pernyataan itu"

"Dia tengah belajar untuk menjadi tenaga medis disana..."

"And He did great..." Namjoon terkekeh pahit.

"Hey.....maaf jika peristiwa ini ternyata berhubungan dengan mendiang ayahmu"
"Wajar jika kau merasa bersalah"

"Tapi bagaimana pun....."

"I know.....I know Jackson..."
"Aku tidak boleh gegabah"

"Maaf aku tidak bisa mengendalikan emosiku" Ia menghela napas panjang, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan beranjak keluar dari kantor sang senior.


"Pak Kim..."

"Ada yang ingin bertemu denganmu di lobby"

Seorang petugas keamanan yang tengah berjalan menuju kantor Jackson berhenti kemudian menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya.

"Siapa?" Namjoon melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"It's late...." Ia pun berlari kecil menuruni tangga menuju lobby.

Seorang wanita lusuh menggandeng tangan anak perempuan tersenyum pahit dengan mata sembab.

Langkah Namjoon terhenti saat menyadari siapa wanita itu.

Ia berjalan pelan, mendekat dengan hati-hati.


"Sekarang kami benar-benar sendirian bukan?" Air matanya mengalir bersamaan dengan senyum getirnya.

Namjoon tersentak dan menegakkan kepalanya.

"Tidak apa-apa....kami mulai terbiasa...."

"Terimakasih telah berusaha membela suamiku, Tuan...."
Wanita itu berusaha tersenyum, mengusap bahu anak semata wayangnya dan menyuruhnya membungkuk.

Namjoon mengumpat dalam hatinya. Suara lirih itu benar-benar terdengar menyakitkan.

"Maaf...."

Wanita itu menggeleng pelan lalu tertunduk, isak tangisnya semakin jelas.





Suara kepalan tangan beradu dengan karung pasir itu menggema di ruang olahraga.

Entah berapa banyak pukulan dan tendangan yang ia lepaskan dan itu sama sekali tidak mengurangi beban pikirannya.


"Don't hurt Yourself....."

Suara itu menghentikan gerakannya.


"Aku mendengar apa yang telah terjadi...."

"I'm sorry, Namjoon...."
Seokjin mendekat pelan, mengusap lalu menarik kepalan tangan berbalut kain putih yang berada di sisi karung pasir itu lembut.

Tak menjawab, Namjoon berbalik dan merebahkan keningnya pada bahu Seokjin.


"Let's go home..." Seokjin mengusap punggungnya.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang