34 - Tertangkap.

227 11 0
                                    

Happy Reading,

Para polisi sudah mengepung rumah Raksa, seorang polisi sedari tadi mengetuk-ngetuk pintu tetapi tidak ada jawaban dari dalam rumah. Sementara di dalam rumah Raksa, Raksa dan Resta sedang mondar-mandir karena merasa panik.

"Aksa, gimana ini? Apa kita akan di penjara?" tanya Resta panik.

Raksa terdiam sejenak, "Bagaimana kita bisa ketauan? Saat kamu teler, apa kamu bilang ke orang lain kalau kita mengonsumsi dan mengedarkan narkoba?"

Resta menggigit-gigit jarinya lalu menggelengkan kepala, "Saat aku memakainya, aku tidak keluar dari kamar atau rumah sama sekali. Ya, aku yakin aku tidak keluar."

Mereka hanya berdua saja di rumah itu, kedua orangtua Raksa sedang berada di Taiwan karena perjalanan bisnis.

Tiba-tiba suara gedoran pintu dan teriakan dari luar mengagetkan mereka berdua, Raksa berjalan perlahan ke arah pintu. Dengan perasaan yang kalut, Raksa membuka pintu rumahnya. Sudah banyak polisi di luar rumahnya.

"Dengan tuan Raksa?" tanya seorang polisi.

"Ya, dengan saya sendiri," jawab Raksa.

Dua polisi memegang tangan Raksa kemudian memborgol tangannya. Raksa memberontak, "Ada apa ini?!"

"Anda kami tangkap dengan tuduhan rencana pembunuhan dan pengeboman."

"APA?!" Raksa melototkan matanya tidak percaya.

Dua polisi itu menarik Raksa untuk masuk ke dalam mobil, Raksa terus menerus memberontak. Karena Raksa yang terus-menerus memberontak, membuat salah satu polisi geram dan meninju muka Raksa.

Para polisi yang melihat itu memisahkan polisi itu dengan Raksa, Raksa terdiam sembari meringis kesakitan. Salah satu polisi menegur tindakan dari polisi tersebut, sementara polisi yang meninju muka Raksa itu hanya terdiam dengan tatapan kesal.

Para polisi memasukkan Raksa ke dalam mobil polisi, lalu mobil polisi itu pergi meninggalkan pekarangan rumah Raksa.

Resta yang mengintip di balik tirai jendela saat Raksa sudah di bawa oleh polisi langsung menangis sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Resta merasa takut, sangat takut. Kemudian ia mengelus-elus perutnya yang sedikit membuncit sembari menangis histeris.

.
.
.

Trianna duduk di bangku ruangan kantor polisi dengan Beatrice di sampingnya. Beatrice sedari tadi berusaha untuk menenangkan Trianna, ia terus mengusap-usap punggung Trianna.

Trianna masih shock dengan kenyataan yang baru saja ia dapatkan, ia terdiam sedari tadi. Bryan yang melihat Trianna terdiam seketika mengepalkan tangannya kuat di bawah meja, mata Bryan menatap tajam, setajam pisau yang siap menusuk siapa saja yang di tatap olehnya.

Mereka semua masih berada di kantor polisi, suasana di dalam ruangan itu tegang dan dingin. Semua orang terdiam, hanyut dengan pikirannya masing-masing.

Pintu terbuka, semua orang melihat ke arah pintu, ternyata Paul---kepala polisi, Julian---seorang detektif kepolisian, dan Max---seorang polisi. Semua orang berdiri, ketiga polisi itu berjalan masuk ke dalam ruangan dan mereka duduk kembali di kursinya masing-masing.

"Pelakunya sudah kami tangkap, dan dia sudah berada di dalam penjara kantor polisi sampai persidangan nanti," kata Paul.

"Apa tuan dan nyonya sudah yakin untuk menuntut pelaku?" tanya Julian.

"Saya sangat yakin," jawab Bryan datar sembari menatap tajam ke arah Julian. Nada bicaranya tegas dan terdengar sangat serius.

"Keluarga Domien akan menuntutnya," kata Baslano dingin. Baslano menatap tak kalah tajam dari Bryan.

"Baiklah, kami akan membantu meminta kepada jaksa penuntut umum untuk membuat surat tuntutan dan surat itu akan diajukan di sidang pengadilan nanti. Kami harap kalian segera menyiapkan seorang pengacara untuk persidangan," ucap Paul lalu berdiri dari kursinya.

Semua orang ikut berdiri, Baslano dan Bryan berjabat tangan dengan ketiga polisi itu lalu pamit untuk pergi. Paul membalas jabatan tangan itu dan mengangguk, kemudian mereka berenam berjalan keluar dari ruangan polisi.

Gelan menatap ke arah mereka semua, "Aku pamit pulang duluan ya, hari ini masih banyak pekerjaanku yang belum selesai," ucapnya.

Mereka semua mengangguk, kemudian Gelan berjalan lebih dulu menuju parkiran. Bryan terdiam sejenak, ia sedang memikirkan untuk mencari seorang pengacara yang paling hebat sehingga bisa membuat Raksa mendapatkan hukuman yang berat. Minimal hukuman mati, pikir Bryan.

Seakan sudah tau apa yang di pikirkan oleh anaknya, Baslano berjalan mendekat lalu menepuk pundak Bryan.

"Papah akan membantumu mencari seorang pengacara yang paling hebat dan terbaik." Baslano menepuk-nepuk pundak Bryan beberapa kali, Bryan tersenyum tipis.

"Ayo kita mampir ke restoran terlebih dulu, kalian pasti lapar," ajak Beatrice. Beatrice merangkul pundak Trianna, Trianna tersenyum hangat.

Mereka semua mengangguk setuju, kemudian mereka masuk ke dalam mobil masing-masing. Mobil mereka berjalan meninggalkan area kantor polisi menuju ke restoran untuk makan siang.

.
.
.

To be content.

Hai, hai, gengs. Maaf kalo gk nyambung ya gengs hehe.

Jangan lupa vote, komen, dan follow akun akuu yaaa, terimakasihhh.

IMAGINATIONOnde histórias criam vida. Descubra agora