29 - Melepas Pergi

3.6K 615 205
                                    

Mohon untuk tetap tinggalkan jejak berupa VOTE dan KOMENTAR.

Selamat membaca.

Now PlayingDawai - Fadhilah Intan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Now Playing
Dawai - Fadhilah Intan

~•~•~•~•~•~•~

Keheningan menyelimuti kamar nomor 023 sejak satu jam yang lalu. Di sebuah brankar terbaring seorang perempuan dengan hijab tanpa jarum yang tampak diam menatap langit-langit. Tangan dinginnya di genggam gadis berjaket jeans yang sedang tertunduk dengan mata basah. Ines yang diam-diam datang ke Belanda untuk menjenguk keponakan tercinta justru dikejutkan dengan kabar duka yang tak pernah ia kira. Sesak, keinginan menyangkal kenyataan, serta perasaan menyesal sebab datang terlambat bercampur menjadi satu di dalam rongga dadanya.

Di sisi lain Bramantyo kembali menyusul Ivander setelah menyelesaikan beberapa administrasi di resepsionis. Langkahnya yang sedikit tertatih semakin ia percepat saat mendapati anaknya keluar dari ruang jenazah. Cucunya memang baru saja dipindah untuk disucikan.

"Van," panggilnya pelan.

Langkah lemah si pemilik nama berhenti. Pandangan mata yang sejak tadi mengarah ke lantai mulai naik. Tak ada ekspresi apapun yang Ivander tampilkan. Laki-laki itu hanya diam membalas pandangan sang papa.

"Pa, anak laki-laki tetap boleh menangis, kan?" Setelah beberapa detik geming, Ivander menunjukkan suara paraunya.

Mendengar pertanyaan sang anak Bramantyo langsung menariknya ke dalam dekapan. "Boleh, Nak. Kamu juga boleh menangis di pelukan Papa seperti ini," Bramantyo mengusap punggung anaknya, berusaha menyalurkan kekuatan.

Ivander masih mematung dengan tangan di samping tubuh. Laki-laki itu tak memiliki tenaga untuk membalas dekapan sang papa. Ia juga sudah kehilangan kekuatan untuk membendung cairan bening di pelupuk matanya.

"Kuat, Nak, kuat." Tutur pria tanpa tongkat itu sambil terus mengusap punggung Ivander.

Tidak. Ivander tidak sekuat itu. Laki-laki tersebut memecah tangisan. Ivander yang selalu memiliki bahu setegar karang kini merapuh di dalam dekapan sang papa.

"Ivander harus apa, Pa? Rosalie bagaimana nantinya?" Pertanyaan itu terlontar di tengah-tengah isakan.

Hati Ivander hancur bagai vas bunga yang dijatuhkan dari lantai dua. Kepingan lukanya sebanyak serpihan kaca yang berserakan. Tak mampu dikumpulkan, tak bisa disatukan. Ivander kehilangan.

Bramantyo tidak menjawab pertanyaan itu, sebab ia tahu saat ini yang anaknya butuhkan adalah telinga. Pria paruh baya tersebut membiarkan Ivander menangis, menumpahkan segala kedukaan. Dirasa sudah mereda, Bramantyo melepaskan dekapannya. Ia pandangi wajah anaknya yang basah. Ivander yang semasa kecil sering kali menangis diam-diam, kini menyuarakannya dengan versi yang lebih menyakitkan.

Rose & Lose [S1 end - S2 on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang