“Zey! Zeyra! Bangun!”

“Zeyra!”

***

Perlahan kelopak mata Zeyra bergerak. Gadis itu mengerjap pelan saat sebuah cahaya memasuki penglihatannya. Pusing, itulah yang Zeyra rasakan. Dia memijit pelipisnya. Butuh beberapa detik untuk Zeyra menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing.

Kasur tempat dia berbaring terasa lembut dan halus. Seingat Zeyra kasur di kamarnya tak seempuk ini. Dia menatap sekeliling, kamar ini luas ditambah dengan dekorasinya yang sangat mewah. Ruangan ini didominasi dengan warna pink beserta gambar Barbie.

Satu pertanyaan yang memenuhi otaknya. “Di mana ini?”

Tak lama, seseorang memasuki kamar. Zeyra menoleh, pandangannya bertemu dengan gadis yang tadi ditemuinya di tempat pedagang. Alesa tersenyum manis saat melihat Zeyra sudah siuman. Alesa menghampiri Zeyra. Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan gadis itu.

“Zeyra, apa kau baik-baik saja?”

“Alesa? Apa yang terjadi padaku?”

“Semalam kau pingsan di tempat pedagang. Aku membawamu ke rumahku.”

Seakan teringat sesuatu, Zeyra meraba kepalanya yang terbalut perban. Gadis itu bergumam mencoba memahami sesuatu. Memikirkan penyebab kepalanya bisa berdarah. Apakah karena tak sengaja terkena lemparan batu saat dikejar bocah-bocah nakal itu?

Alesa menyodorkan segelas air putih. Zeyra pun menerimanya karena tenggorokannya terasa kering.

Tapi, tunggu!

“Semalam?” tanya Zeyra, memastikan dirinya tak salah dengar dengan ucapan Alesa.

“Iya, aku tak tahu rumahmu di mana. Makanya aku membawamu kemari. Kata dokter, kepalamu terbentur sesuatu, untungnya luka di kepalamu tidak menimbulkan hal yang serius.”

Zeyra membelalak. Itu artinya sudah semalaman dia berada di luar rumah. Bagaimana jika nenek khawatir dan mencarinya?

Gadis itu refleks terbangun. Dia membuka selimut dan turun dari ranjang dengan terburu-buru. Alesa yang melihat itu terkejut, dia menahan lengan Zeyra.

“Zeyra, kau masih harus berbaring. Luka di kepalamu—”

“Alesa, terima kasih sudah merawatku. Zey berhutang budi padamu. Tapi, Zey harus segera pulang. Nenek pasti tengah mencariku.” Zeyra sangat gelisah. Semalaman dia meninggalkan nenek sendirian di rumah.

“Tapi... Baiklah, aku akan mengantarmu.”

“Tidak usah. Zey akan pulang sendiri. Zey tak mau merepotkan Alesa,” kata Zeyra tak enak.

“Tidak mau! Pokoknya aku yang akan mengantarmu!” ucap Alesa dengan nada tak terbantahkan.

Zeyra menghela napas pelan. “Baiklah.”

***

Sudah lewat beberapa jam, Geogra masih saja berdiri di depan gerbang sekolah. Melipat tangan di depan dada, menatap satu persatu siswa yang lewat dengan mengintimidasi. Di bawah teriknya sinar matahari, wajah Geogra memerah seperti tengah menahan amarah yang siap meledak kapan pun.

Naden yang sedari tadi berdiri di samping Geogra, mengomel tak jelas seraya mengipasi wajahnya. “Sebenarnya sedang apa kita di sini?”

“Kau menunggu siapa?” ucap Naden kesal.

“Diamlah!” sentak Geogra.

Saat mereka berdua tengah berdiri di sana, seorang guru paruh baya datang menghampiri. Dia memakai tongkat untuk membantunya berjalan. Guru itu sedikit menggeram, ketika jam pelajaran sudah dimulai, tetapi masih ada saja siswa yang berkeliaran.

“Hei, kalian! Mengapa masih di luar? Apa kalian tidak dengar bunyi bel masuk?”
Mendengar seseorang memanggil mereka, Naden menoleh. Laki-laki itu mengernyit menatap pria paruh baya yang berjalan ke arah mereka.

“Maaf, tapi Anda siapa ya?” tanya Naden.
Sedangkan Geogra, laki-laki itu masih tetap pada posisinya. Tak mau repot-repot untuk sekedar menoleh. Dirinya masih fokus ke depan, mengamati luar sekolah.

“Saya guru kalian!”

“Guru?” gumam Naden.

“Apa kau guru baru?” tanyanya untuk memastikan.

Pria paruh baya itu menggeram. “Kalian saya hukum, karena berada di luar saat jam pelajaran tengah berlangsung!”

Naden membelalak. “What?”

“Ck!” Geogra berdecak malas. Dia menoleh, memberikan tatapan tajam pada guru itu. Memberi peringatan untuk tak mengganggunya. Akan tetapi, pria paruh baya itu melotot tak terima.

“Lari di lapangan sepuluh kali!”

Naden maupun Geogra tak bergeming. Mereka berdua sama-sama menampilkan ekspresi datar.

“Kalian ini tidak punya sopan santun ya?!” bentaknya seraya menunjuk mereka berdua menggunakan tongkat. Melihat bagaimana sikap pria itu dengan lancang menunjuk dirinya menggunakan benda itu. Rahang Geogra mengeras.

“Kalian tidak mendengarkanku huh?!” Teriakan guru itu semakin menjadi-jadi hingga seorang guru wanita muda menghampiri pria itu dengan tergesa-gesa.

“Ada apa ini?”

“Siapa anak ini? Bersikap tidak sopan pada guru!”

Bu Nia selaku wakil kepala sekolah, menatap Naden dan Geogra bergantian.

“Mari ikut saya, Pak. Ada yang ingin saya sampaikan,” ucapnya.

“Apa? Anak-anak nakal ini dibiarkan begitu saja?!” Ucapan pria paruh baya itu membuat Bu Nia menggigit bibir.

“Kalian silakan kembali ke kelas,” kata Bu Nia. Pria itu berdecih, menatap sinis pada muridnya. Kemudian pergi bersama dengan Bu Nia meninggalkan mereka berdua di sana.

“Kau tahu apa tugasmu?”

Naden menampilkan senyum misterius.

***

Setelah diantar pulang atas paksaan Alesa. Zeyra kini tengah berada di rumahnya. Dia terpaksa tidak pergi ke sekolah karena larangan dari neneknya. Padahal Zeyra tidak ingin ketinggalan pelajaran lagi. Tapi apa boleh buat, nenek sangat galak bila Zeyra membantah.

Alhasil, Zeyra hanya bisa berdiam diri di kamar. Zeyra mengotak-atik meja belajarnya. Karena bosan, ia berinisiatif untuk membereskan meja belajarnya yang berantakan. Menyusun buku-buku pelajaran dengan rapi. Tak lupa kotak alat tulis dan beberapa alat belajar lainnya.

Hingga tak sadar, hari sudah mulai gelap. Zeyra keasyikan sendiri dengan kegiatannya. Setelah selesai, Zeyra berniat istirahat terlebih dahulu sebelum menyiapkan makan malam. Dia membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur.

Dug!

“Aduh! Sakit... Zey lupa, kalau kasurnya tidak seempuk kasurnya Alesa.” Memikirkan Alesa, Zeyra tersenyum kecil. Dia sangat beruntung bertemu dengan Alesa. Zeyra pun senang bukan main saat Alesa mengajaknya berteman. Baru pertama kali ada seseorang yang ingin berteman dengannya.

Selain cantik, Alesa juga baik hati. Dia tak pernah menatap Zeyra dengan ekspresi jijik seperti orang-orang. Hanya senyum manisnya yang selalu terlihat setiap kali berbicara dengan Zeyra.

Tak!

Zeyra terkejut saat pandangannya tiba-tiba menjadi gelap.

“Mengapa lampunya mati?” gumam Zeyra. Dia segera bangkit lalu berjalan dengan hati-hati. Tangannya meraba-raba dinding, mencari letak tombol sakelar.

“Ketemu!” ucapnya.

Namun, ketika ingin menekan tombol sakelar. Tiba-tiba seseorang menahan tangannya. Zeyra memekik saat ditarik kasar, tubuhnya berbalik lalu didorong hingga membentuk dinding.

“Zeyra...”

Suara itu, lagi.

“Kau ingin bermain-main denganku rupanya.”

"Apakah masih belum puas dengan hadiah yang kuberikan?"

***
To be continue

GEOGRAWhere stories live. Discover now