26. Secret Protect

230 28 6
                                    

Jodhipati adalah tempat terdekat dari Hastinapura. Rumah kosong dan sepi, suasana cocok untuk menikmati cahaya bulan. Semerbak bunga kamboja dan sedap malam memekakkan indra penciuman. Antasena, Wisanggeni, juga Srenggini masuk ke dalam gerbang ksatrian.

"Udah kalah gak nerima kalah ya gitu," gumam Wisanggeni.

"Nyusahin," sahur Antasena melepas alas kakinya dan memasuki ruang tamu utama, tempat biasa Antasena, Antareja dan Suryanarada berkumpul.

Antasena dan Wisanggeni merebahkan tubuh di hamparan tikar dan menghela nafas, Wisanggeni berteriak pelan melepas penat. Mata Antasena menuju ke pintu masuk, ia melihat Srenggini sungkan untuk masuk. Antasena memanggilnya, "Dhimas Srenggini?"

Srenggini terlihat canggung. Ia menundukkan pandangannya dan menjawab, "saya, Kangmas."

"Apa yang kamu lakukan disitu? Sini, gabung sama kita," ujar Antasena.

Srenggini tersenyum ramah dan mengangguk, kemudian duduk bersila dengan canggung didepan Antasena dan Wisanggeni. Antasena membuka suara dengan bertanya, "Dhimas Srenggini, bagaimana bisa kamu sampai ke markas dadakan Lesmana dan antek-anteknya?"

"Aku yang bawa," sambar Wisanggeni seraya memegang toples berisi keripik pisang.

Srenggini berdeham, kemudian menjawab, "Jadi begini, Kakangmas, ..."

***

Senja ditepi sungai Serayu, memang seindah itu. Tak ayal dulu, Dewi Urangayu mengajak Bratasena memadu kasih ditepiannya. Srenggini, entah bagaimana dirinya lahir, tapi dirinya sangat mengagumi sosok Bratasena sebagai ayahnya. Gagah, berwibawa, bijaksana, dan pemimpin yang adil. Walau dirinya tak mendapat keadilan darinya. Srenggini menebas-nebaskan tongkat baseball pemberian ibunya di ulang tahunnya yang ke lima tahun. Dulu, Srenggini sangat ingin bisa berolah senjata agar bisa melindungi Ibunya, namun sang Ibu mengkhawatirkan anaknya. Sebagai alternatifnya, Dewi Rekathawati memberinta tongkat baseball.

Suara gaduh mengganggu renungannya dari seberang sungai, Srenggini meninggalkan sepeda motornya dan mengendap di balik belukar yang rungkut di pinggiran sungai. Ia mengintip dan mengamati kekacauan itu, dengan tatapannya yang tajam dan peka, ia dapat melihat bahwa Antasena, Kakaknya terlibah dalam perkelahian itu.

Dari belakang Srenggini, suara deham mengejutkannya. Srenggini berbalik dan melihat sosok tampan dan jangkung dan terdapat luka bakar kecil di area alis juga mata kirinya. Sosok tersebut tak lain adalah Wisanggeni.

"Oh, jadi kau adalah anggota baru Kurawa yang ke seratus satu?" Wisanggeni menekan pipi Srenggini yang agak tembem dengan satu tangan dan mengamatinya. "Kenapa kau mirip sekali dengan Antasena?"

"Aku bukan Kurawa, dan aku adalah adik Kakangmas Antasena," ucap Srenggini sopan dan polos.

"Hmm? Kakaknya saja gak punya tata krama, adiknya sesopan ini?" Wisanggeni ragu. "Kau tahu? aku tak mudah percaya dengan orang asing," lanjutnya.

"Lantas apa yang harus kulakukan agar kau percaya- tunggu, siapa kau?" tanya Srenggini.

"Kalau kau mau tahu siapa aku," Wisanggeni menunjuk ke sebrang sungai. "Kita lakukan apa yang mereka lakukan. Kalau benar kau adalah adik Antasena, harusnya kau berani melawanku."

"Baik, jika itu adalah cara berkenalanmu." Srenggini menjatuhkan tongkat baseball-Nya kemudian bersiap menyerang.

Dengan tangannya yang kuat, ia melontarkan bogemannya ke kepala Wisanggeni. Dengan kecepatan seperti api yang bergoyang tertiup angin, mudah bagi Wisanggeni menghindar dari serangan itu. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan mengarah ke arahnya. Dengan gaya tengil yang khas, Wisanggeni hanya menghindar dan menghindar tanpa mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang