22. Lir Tirta

148 19 7
                                    

Di depan gerbang ksatrian Madukara, terlihat Janakawati yang tengah menunggu pujaan hatinya ditemani dengan emban-Nya yang setia menemani. Tak lupa Janaka sebagai seorang Ayah ikut menemani dan mengawasi putrinya, kalau-kalau ada yang mengusik gadis kecilnya itu.

Terlihat dua orang pria dengan dua kendaraan, bertubuh kekar dan helm yang menutupi seluruh wajahnya. Keduanya berhenti tepat didepannya yang membuat gadis berkemeja biru itu mundur beberapa langkah.

Antasena membuka kaca helmnya agar Janakawati tahu, bahwa yang menjemputnya tak lain adalah pujaan hatinya. Ia memberikan helm kepada Janakawati tanpa bertindak lebih lanjut, hal tersebut membuat Janaka geleng-geleng kepala.

"Antasena," panggil Janaka lembut.

"Ada apa paman?" tanya Antasena menstandarkan sepeda morornya.

"Minimal dibantu pakai helmnya, le...," ujar Janaka meraih helm yang dipegang Janakawati, kemudian mengembalikan lagi ke pemiliknya.

"Yo..." Antasena menerima helm itu, kemudian melambaikan tangannya kepada Janakawati seraya bergumam, "sini."

"Saya bisa pakai sendiri, kakangmas," gumam Janakawati.

"Udah, sini aja," paksa Antasena dengan lembut, kemudian memasangkan helm itu ke kepala Janakawati dan mengaitkan kancingnya.

"Antasena, kamu kencan mengajak ayahmu?" tanya Janaka dengan intonasinya yang lembut seperti biasanya.

"Enggak," jawab Antasena menunggu Janakawati naik dengan sempurna di sepeda motornya. "Cuman kebetulan lagi ada urusan juga di Kisik Narmada."

Janaka menatap Bratasena yang wajahnya masih tertutup kaca helm untuk sesaat, kemudian memalingkan wajahnya dan menahan senyum seolah meledeknya.

"Waa, bukan begitu," Bratasena menyahuti dengan suara yang juga menahan tawa karena mereka kini sepemikiran. Janaka batuk-batuk yang membuat wajah Bratasena yang tertutup kaca helm merah padam.

"Selamat bersenang-senang," guman Janaka menunduk menyembunyikan raut wajah geli-Nya. Antasena yang paham pun ikut tertawa tanpa suara, yang menimbulkan getaran pada bahunya yang tak kunjung berhenti.

"Wahaaa, Antasena berhenti ketawa, wahaha," Bratasena geli sendiri mengetahui bahwa anaknya pun paham akan apa yang dipikirkan Janaka.

Antasena mengeluarkan telepon genggamnya, kemudian membuka kolom percakapannya dengan ibundanya. Sengaja ia mengirimkan pesan suara dengan suara yang dikeraskan hingga Bratasena dan Janaka ikut mendengar, "Bu, dandan yang cantik ya. Jangan lupa cek kunci pintu kamarnya, jangan sampai rusak."

Hal tersebut membuat Bratasena memukul kepala Antasena seraya berkata, "ngawur!". Untungnya Antasena mengenakan helm pada saat itu, sehingga tidak terjadi sesuatu dengan kepalanya. Janaka yang lompat-lompat kecil menahan geli juga sukses membuat Bratasena salah tingkah.

Jadi siapa yang sedang dimabuk asmara? Si anak, Antasena? Atau si ayah, Bratasena?

Setelah senda gurau singkat tadi, Bratasena, Antasena beserta tunangannya berpamitan kepada Janaka menuju Kisik Narmada, memperkenalkan sang calon istri kepada calon mertuanya.

Sepanjang jalan, suasana hening tanpa sepatah kata menemani Antasena dan Janakawati. Antasena yang tidak bisa basa-basi dan Janakawati yang terlalu pemalu membuat perjalanan mereka terasa sunyi, hanyalah terdengar suara mesin kendaraan yang mereka tunggangi. Seperti tenangnya air yang mengalir dari Kisik Narmada melalui sungai Serayu, lalu berlabuh ke danau Randukumbala yang sejuk. Damai, hanya itu yang dirasakan Antasena tatkala ia mengendarai motornya melalui jalan yang bersebelahan dengan sungai itu.

Saat berhenti di lampu merah persimpangan Bantarangin, Antasena menghentikan kendaraannya tepat di bawah pohon guna melindungi rumah bagu hati-nya yang baru saja ia singgahi.

AntasenaWhere stories live. Discover now