7: Rumah

140 26 11
                                    

"Dengar-dengar, kamu akan segera menikah, Le," suara wanita tersebut membuat Antasena terpaku saat mendengarnya. "Anak Ibu sudah dewasa," Antasena menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Apa Ibu berharap itu?" tanya Antasena duduk termenung di ayunan yang ia buat sendiri semasa kecil, tepatnya di bawah pohon jambu tempat biasa ia bermain saat ia masih kanak-kanak. "Apa ibu juga memaksakan hal itu, sama kayak Bapak?"

Urangayu menghampiri anak laki-laki yang sedang duduk termenjng dihadapannya. Urangayu meraih tangan puteranya dan digenggamnya tangan Antasena kuat-kuat, seolah tidak mau dipisahkan oleh apapun. Antasena menatap Ibunya sungguh-sungguh. Urangayu tampak meyakinkan Antasena yang penuh keraguan.

***

Urangayu tampak murung dalam kamarnya. Mengingat usia kandungannya yang kian menua, dan kini suaminya tak berada disisinya. Tak terasa tujuh bulan berlalu setelah pernikahannya dengan Bratasena, hubungannya mulai renggang saat suaminya bertugas di kota Amarta.

Seharusnya ia tahu, jika Bratasena memiliki dua istri selain dirinya. Seharusnya Urangayu tak banyak berharap kepada Bratasena. Namun, rasa cintanya terhadap Bratasena sudah menutupi penglihatan, pendengaran, logika, bahkan perasaan dalam hati kecilnya.

Urangayu mengusap-usap perutnya yang sudah membesar dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia menitikkan air mata, lantaran tidak kuat menahan derita yang menimpanya saat itu.

Diraihnya selimut yang terhampar rapih di atas ranjang yang ia duduki. Dilingkarkannya selimut tersebut hingga membalut tubuhnya. Urangayu hanya bisa membayangkan betapa hangatnya pelukan suaminya yang amat ia cintai.

"Selimut ini, selimut ini yang menjadi saksi, betapa tulusnya cinta ini kepadamu, Kakang," gumam Urangayu dengan isakkannya sembari mengeratkan balutan selimut tersebut di tubuhnya.

Ditengah tangisannya, Urangayu mendengar suara ketukan pintu yang cukup mengejutkan. Urangayu cepat-cepat menghapus air matanya kemudian mengatur nafasnya yang tersedan-sedan. "Masuk," ucap Urangayu dengan suaranya yang masih bergetar hebat di posisinya. Pintu berderit pelan, menampakkan bayangan tubuh jangkung Ayahnya. Urangayu menunduk sembari menutupi wajahnya menggunakan rambutnya yang terurai kala itu.

"Urangayu?" tanya Ayahnya, Baruna. Mengetahui hal tersebut, Baruna berjalan tergopoh-gopoh menghampiri puterinya yang tidak baik-baik saja, kemudia duduk disebelahnya dan dirangkulnya dengan penuh kasih sayang seorang Ayah.

"Ada apa Urangayu, apa kamu sakit?" tanya Baruna dengan nada posesifnya yang terdengar jelas. "Kenapa siang-siang begini kamu pakai selimut?" tambahnya lagi yang membuat Urangayu kembali menjatuhkan air matanya, kemudian membalas pelukan Ayahnya dengan erat.

"Aku tidak tahan, Ayah...," gumam Urangayu berisak kencang. "Aku tidak kuat menanggung beban ini, seluruh rakyat Kisiknarada menganggap anak yang aku kandung ini adalah anak haram, Ayah."

Baruna mencelos hatinya. Sebagai seorang Ayah, tentu saja Baruna merasa sedih. Hatinya terasa hancur lebur mendengar pernyataan yang keluar dari bibir puterinya itu. Ditambah tangisan Urangayu yang mendayu-dayu, perasaan Baruna semakin tidak karuan.

"Kamu yang kuat ya, nak, Ayah yakin Bratasena akan segera pulang dari Amarta, dan segera menyalahkan rumor itu," timbal Sang Ayah yang mulai menitikkan air matanya, kemudian memeluk dan mencium perut puterinya tempat dimana cucunya hidup dan bernapas.

AntasenaWhere stories live. Discover now