10: Perdebatan

135 28 1
                                    

Terdengar notifikasi dari ponsel milik Bratasena memecah keheningan. Bratasena membuka dari siapakah notifikasi tersebut. Tertulis dalam layar kuncinya "1 pesan dari Wisanggeni belum terbaca". Dalam pesan tersebut tertulis jika Antasena dan Bratasena sudah didahului oleh Lesmana yang sama-sama mau melamar Janakawati. Sontak, Bratasena kaget dan matanya terbelalak.

"KEPARAT!!!" teriaknya dalam mobil membuat seisi mobil ikut kaget.

"Ada apa, Den?" tanya Cakrawangsa dengan spontan.

"Kenapa, Ndara?" tanya Dawala mengikuti kakaknya.

"Ada apa gerangan, Tuan?" Astrajingga bersuara.

"Kenapa, Pak?" Antasena ikut-ikutan menanyakan hal yang sama.

"Cakrawangsa! Hentikan mobilnya!" ucap Bratasena dengan nadanya yang tinggi.

"Kenapa diberhentikan, Den?" tanya Cakrawangsa terheran-heran.

"Kubilang Berhenti!" bentak Bratasena yang terlanjur emosi yang sudah jelas jika permasalahannya menyangkut harga diri keluarganya, terutama bagi dirinya dan putera bungsunya.

Cakrawangsa menghentikan laju kendaraannya. Bratasena cepat-cepat keluar dari mobil dan hendak mengambil alih kemudi dari Cakrawangsa. Cakrawangsa bertanya-tanya apakah ada yang salah dari caranya mengemudi? Dirasanya sejak awal perjalanan semua baik-baik sajadan sudah melalui rute yang tepat dan tercepat.

"Cakrawangsa, Dawala, Astrajingga," panggil Antasena dengan senyuman yang mencurigakan.

"Ada apa, Den?" sahut mereka bertiga bersamaan.

" Aku cuman peringatkan kalian satu kali lho, jadi tolomg simak baik-baik , ya," ujar Antasena masih dengan senyumnya yang sudah terbaca bahwa ia hendak berbuat jahil. "Kencangkan sabuk pengaman!!" serunya yang diselingi tancapan gas dari Bratasena.

Bratasena menginjakkan gas-nya kuat-kuat, ia mengendarai mobilnya tersebut secara ugal-ugalan. Ternyata ada yang datang lebih dulu darinya. Punakawan teriak-teriak dibuatnya, kecuali Astrajingga yang sudah lemas karena mabuk kendaraan, ia sudah tak sanggup lagi untuk berkata-kata.

"Den, tadi gak kedengeran! Tadi ngomong apa?!" tanya Dawala.

"Tadi aku ngomong cuman kasih tau satu kali!! HAHA!!!" seru Antasena tertawa geli melihat ekspresi lucu dari para Punakawan saat bendara mereka yang mengendarai mobil seperti adegan dalam film aksi.

***

Sampailah Bratasena beserta antek-anteknya di Madukara. Tanpa harus melapor, penjaga keamanan setempat langsung membukakan pintu gerbang karena sudah mengetahui bahwa Bratasena beserta rombongannya adalah tamu utama pada hari itu. Bratasena dan Antasena langsung keluar dari mobil dan berjalan terburu-buru ke arah pendopo, urusan memarkirkan kendaraan yang mereka pakai diserahkannya kepada Cakrawangsa yang notabenenya sebagai supir kala itu.

Astrajingga berlari kembali keluar gerbang rumah Janaka, kemudian ia berhenti tepat didepan saluran air. Terdengar Dawala berteriak memanggil namanya dari kejauhan. Tak lama setelah itu Dawala berlari menghampiri Astrajingga yang mrmbungkukkan tubuhnya.

"Kamu kenapa, As??" Tanya Dawala khawatir.

"Aku gakpa-" belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, isi perutnya sudah tumpah melalui mulut.

"As ... ," gumam Dawala mengusap-usap punggung Astrajingga. "Kirain udah gak mabuk perjalanan."

"Berisik," Astrajingga bangkit mengusap bekas muntahan yang tersisa diujung bibirnya, kemudian berjalan gontai menyusul bendaranya.

"Hadeh, keras kepala. Lebih tepatnya kepalanya memang keras." Dawala tersenyum geli melihat adiknya yang merasa sehat dan baik-baik saja.

Langkah Bratasena yang tergesa-gesa diikuti oleh Antasena dengan perasaan yang campur aduk. Senang, karena cela untuknya menolak pernikahan itu semakin besar, dan juga sedih karena melihat Ayahnya yang dikecewakan oleh pamannya, Janaka. langkah mereka berdua disusul oleh para punakawan. Baru saja Bratasena menginjakkan kakinya di lantai pendopo Medukara, Bratasena langsung membentak dan menghardik Janaka dengan amarahnya yang meletup-letup.

AntasenaWhere stories live. Discover now