19. Sebelum

133 23 14
                                    

Gending Kebo Giro mengiringi Lesmama dan Janakawati berjalan menuju pelaminan. Semua orang terlihat bahagia, termasuk Janakawati yang menggandeng Lesmana dengan pipinya yang merah merona karena tersipu luapan kebahagiaan.

Di antara orang-orang yang berbahagia, Lesmana melihat wajah Samba yang menatapnya dengan tajam penuh dendam, iri, dan dengki yang tersulut lewat tatapannya.

Lesmana duduk bersanding dengan Janakawati didepan meja, menggenggam erat jabatan tangannya dengan pamannya, Janaka. Ia mengucap janji suci, kemudian si penghulu bertanya "bagaimana para saksi? Sah?". Seluruh saksi nikah mereka menjawab "Sah!" secara serempak.

Sepasang mempelai duduk diatas pelaminan ditemani dengan para mertua mereka. Pengantin yang tersipu malu itu menyalami para tamu dengan diimbangi senyum bahagia yang merekah juga ucapan terimakasih.

Tak lama, muncul Antasena yang menarik tangan Janakawati dan "Byurr!!", ia menyiram wajah Lesmana dengan air dari gelas pesta yang membuat semuanya menjadi lenyap.

"Kalau kerjamu hanya tidur begini, bagaimana ada gadis yang terpikat olehmu, Lesmana?!" teriakkan yang memekakkan telinga itu kembali terdengar olehnya, sehingga Lesmana sepenuhnyaenyadari bahwa sekarang dirinya basah kuyup.

"A..Ayah?! Apa yang Ayah-"

Plak!! Tamparan keras Duryudana mendarat di pipi Lesmana. Mata Lesmana berkaca-kaca menerima serangan mendadak itu.

"Menangis?! Kamu lupa bahwa kamu itu laki-laki?!" Bentak Duryudana dengan hebat. "Kenapa kamu begitu sering main du taman Keputren, Lesmana? Kamu adalah seorang penerus kepemimpinanku disini, di Hastinapura," lanjut Duryudana melempar embernya ke lantai.

"Kangmas, cukup!" teriakkan wanita itu familiar di telinga Lesmana.

"Dinda, Lesmana kita terlalu lemah. Apa kamu mau terus membelanha?" tanya Duryudana dengan nada jengkelnya.

"Apa kangmas merasa hanya kangmas yang lelah di dunia ini?" Banowati menatap mata Duryudana dengan matanya yang memelas, kemudian perlahan Duryudana luluh.

"Terserah, dinda. Mungkin masalah di Hastinapura ini yang terlalu banyak sampai aku tak sempat mendidik anakku," Duryudana berlenggang pergi.

Banowati berjalan perlahan menghampiri Lesmana yang terduduk di lantai dengan keadaan basah kuyup. Lesmana sengaja tak menyeka air yang menetes dari rambut ke wajahnya, karena air itu lah yang menutupi tangisnya.

"Nak...," Banowati memegang pipi putranya yang basah.

Lesmana menepis lengan Banowati secara lembut, menolak belaian penuh kasih dan sayang seorang ibu dan berkata, "mungkin memang aku adalah orang lemah. Aku hanyalah boneka bagi Ayah."

"Lesmana, jangan berkata seperti itu," Banowati terdengar seperti tak terima. "Sebenarnya Ayahmu--" Banowati langsung tertegun, lidahnya kelu saat ia hampir mengatakan rahasia yang tak boleh terungkap.

"Kenapa? Memang iya kan?!" teriak Lesmana lalu meninggalkan Banowati yang masih tertegun.

Sial, hampir saja...

***

Suara gaduh dalam kamar Antasena dan Wisanggeni menambah hiruk pikuk suasana di lokasi resepsi. Permainan musik oleh grup orkes yang mendapat pekerjaan disana sedang mencoba perangkat.

Wisanggeni mulai membuka matanya dengan perlahan ketika mendapat teriakkan di telinganya, dan retinanya pun sekarang menemukan cahaya yang menyilaukan.

AntasenaWhere stories live. Discover now