14. Disidang

94 22 2
                                    

"Ada Masalah?" tanya Astrajingga dengan gaya jenakanya.

"Tuh, Den Antasena dipukulin sama Ndara Bratasena," ujar Dawala dengan nada sengit yang terdengar jelas.

Astrajingga mengernyit sejenak memandangi wajah Antasena yang memar-memar, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Bratasena seraya berkata, "Maksudnya?"

"Antasena kalah sama Samba, bikin malu orang tua lebih baik aku bunuh," terang Bratasena. "Waa..., malu aku!" gumam Bratasena seraya menghempaskan kembali bogemannya yang ternyata mengenai kepala Astrajingga yang menghalangi Antasena.

"Weyy!!! Ini aku!!!" seru Astrajingga lancang sambil mengaduh. "Sembarangan aja, mundur Den," lanjutnya seraya menyuruh Antasena yang berdiri disebelahnya untuk mundur tepat dibelakangnya.

"Ya," sahut Antasena dengan singkat kemudian mundur dari tempatnya berdiri.

"Maksudnya apa coba? Kalau niat punya anak cuman buat dipukulin coba dulu gak usah punya anak sekalian!" seru pria punakawan bertubuh gempal yang mengenakan baju lurik dan blangkon itu. "Punya anak tuh disayangi, suatu saat akan menyambung sejarahnya orang tua! Orang berkelahi itu cuman ada dua kemungkinan, cuman ada menang sama kalah, kalau menang ya disyukuri kalau kalah ya diterima! Apa ada peraturan yang mengharuskan anaknya Bratasena menang terus?! Ha?! Begitu?! Kok mukulnya ya, das des das des. Kalau kalah tuh ditanya, kalahnya karena apa, Samba itu gak pernah gelut kok bisa ngalahin Antasena yang sering gelut diluar sana." lanjut Astrajingga memberi pencerahan yang sebenarnya ia hanya asal jeplak saja.

"Ini pasti ada sesuatu. Pasti ada udang dibalik ... Apa ya, La?" Astrajingga mendadak linglung karena banyak unek-unek yang ingin ia keluarkan kepada tuannya yang sekarang berubah menjadi setan alas.

"Batu," jawab Dawala seadanya.

"Yaudah, batu," ujar Astrajingga mengiyakan jawaban sang kakak.

"Batu doang, As," gumam Dawala.

"Batu doang," Astrajingga mengulangi perkataan kakaknya. Hal tersebut membuat Antasena dan Dawala menepuk dahinya masing-masing mengetahui kelakuan Astrajingga yang sok quotes.

"Hmm? Antasena kok kalah sama Samba itu harus diteliti lagi, bukannya malah dipukulin. Yang tua itu harusnya ikut mikir, jangan bisanya cuman kasih perintah, cuman nyuruh aja!" terang Astrajingga dengan nada sentak sendrongnya.

Setelah dicerna baik-baik, perkataan Astrajingga ada benarnya juga. Samba, kenapa bisa menang? Suasana hening seketika, tak lama Bratasena yang menunduk untuk berfikir mengangkat wajahnyanya.

"Waa...," Bratasena bergumam.

"Wa-we-wa-we. Mau mukul apa?! Kalau mau mukul, pukul Astrajingga!" sergah Astrajingga dengan kasar dan ketus. "Mentang-mentang ... ayo cepat pukul! Jangan pukul Antasena, pukul Astrajingga!" seru Astrajingga yang tak lama sebelum mulutnya tertutup satu geplakkan keras mendarat di dahinya hingga tubuh gempalnya tersebut terhuyung ke belakang.

"Aduh!" Astrajingga mengaduh. "Mukul beneran kamu?!" tanya Astrajingga setengah tidak percaya, masih dengan nada tinggi.

"Kalau iya kenapa?!" sahut Bratasena menajamkan perkataannya.

"Yaudah," jawab Astrajingga.

"Lho? Aku kira bakal ngapain kalo udah dipukul Ndara Bratasena, ternyata cuman bilang yaudah," gumam Dawala lirih seraya menahan tertawa yang diselingi dengkusan geli dari Antasena.

"Gak masalah kamu pukul aku, gak papa. Tau tetanggaku? pernah pukul kepalaku, sampek sekarang stroke." gumam Astrajingga dengan niatan menakut-nakuti Bratasena. 

"Aku gak percaya!" sambar Bratasena kembali mendaratkan geplakkan yang sama kerasnya di tempat yang sama serta efek samping yang sama, tubuh gempal Astrajingga terhuyung beberapa langkah kebelakang dari tempatnya berdiri.

AntasenaWhere stories live. Discover now