8: Rumah (2)

125 25 11
                                    

Hari itu dihabiskan Antasena hanya untuk bersantai-santai di Kisiknarmada hingga posisi matahari kini sudah berganti bulan yang terbentuk bulat sempurna. Kebetukan Jum'at itu Antasena libur kerja, jadi agenda santai-santai di rumah Ibunya bisa terealisasikan.

"Bu, udah jam sepuluh aku pulang, ya," pamit Antasena mengenakan helmnya.

"Gak tidur sini aja, Le?" ucap Urangayu membawa sekantung plastik ukuran sedang berisi buah dan dua toples kue kering buatannya.

"Ndak, Bu, besok kan lamaran," sahut Antasena polos.

"Owalah, besok, ya," gumam Urangayu. "Ya sudah, hati-hati ya, Le, semoga hubungannya bisa langgeng sampek kakek-nenek," Urangayu menepuk lembut pundak Antasena dengan sentuhan penuh kasih ibu kepada anaknya yang dibalas anggukan 'iya' oleh Antasena.

"Oh iya, Le, ini ada titipan dari Ibu buat Bapakmu, Bratasena," ucap Urangayu menyodorkan sekantung makanan yang juga terdapat sepucuk surat di dalamnya. Antasena menerimanya seraya bergumam dalam hati, 'besok aja deh kasihinnya, kalo aku lewat pintu depan malam-malam begini bisa mampus digebugin Bapak.'

"Berangkat, ya, Bu," ucap Antasena melajukan sepeda motornya, mengucapkan salam perpisahannya, Urangayu melambaikan tangan guna membalas salam tersebut.

Dua jam setengah Antasena menggeber sepeda motornya hingga sampailah dia di Jodipati. Sengaja Antasena mematikan mesin sepeda motornya dan dituntunnya sampai rumah agar tidak menimbulkan suara bising. Alasan kedua agar tidak ketahuan oleh Bapaknya yang kalau ngamuk dunia bisa geger.

Di depan gerbang, Antasena melempari kerikil kecil ke arah jendela pos petugas keamanan rumahnya. "Sstt..., Cakrawangsa," panggil Antasena sembari melempari kerikil kecil. "Cakrawangsa," panggilnya lagi dan lagi.

Kesabaran Antasena habis untuk menunggu Cakrawangsa membukakan pintu gerbang untuknya. Ia memanjat pagar dalam diam kemudian memasuki pos penjagaan Cakrawangsa yang pintunya tidak terkunci. Terlihat Cakrawangsa sesang tertidur pulas di lantai.

"Hmm..., pantes gak nyahut," gumam Antasena sembari mengambil kunci gembok gerbangnya. "Aku bilangin Bapak, mampus potong gaji loh."

Antasena mendekatkan mulutnya ke telinga Cakrawangsa yang terlelap di sana. Antasena memberat-beratkan suaranya, dibuatnya agar semirip mungkin dengan suara Bratasena.

"Cakrawangsa, bangun!" bentak Antasena yang disusul oleh sentakkan tubuh Cakrawangsa.

"Siap, Ndara! Balik kanan bubar jalan!" Cakrawangsa serangan jantung ditempatnya, nyawa belum sepenuhnya tertancap pada raganya. Disaat Cakrawangsa terlonjak kaget bukan kepalang, Antasena sudah lari membuka gerbang sembari tertawa cekikikan. Dibukanya dengan perlahan agar tidak ketahuan siapa pun. Cakrawangsa melanjutkan tidurnya.

Antasena menuntun sepeda motornya kemudian bergumam, "Hehe, untung gak ada yang keluar waktu Cakrawangsa teriak," diparkirkannya sepeda motor tersebut di tempat biasa, kemudian menutup dan mengunci gerbang, dikembalikannya kunci tersebut ke tempat semula agar tidak meninggalkan jejak.

Antasena berlari kecil sembari membawa kantung plastik yang berisi makanan, titipan untuk Ayahnya dari Ibunya. Antasena menggigit kantung plastik itu kemudian memanjat pohon rambutan yang berada tepat di depan jendela kamarnya.

Sebelum pergi dari rumah, Antasena sengaja mematikan lampu kamarnya dan menutup tirainya, namun sengaja ia tidak menguncinya agar dirinya dapat keluar masuk dengan bebas. Sampailah Antasena di dahan yang cukup kokoh, jalan alternatifnya masuk rumah. Dibukanya tingkap jendela tersebut dan tibalah ia di dalam kamarnya.

"Ah..., akhirnya," gumam Antasena kembali menutup jendela jalan masuknua. Diletakkan kantung plastik itu di atas meja kerjanya kemudian berbalik ke arah ranjang sembari menyalakan lampu.

Tatapan Antasena langsung menangkap pakaian yang terlipat halus dan rapi di atas ranjangnya. Hal tersebut membuatnya penasaran dan ia pun mendekatinya. Secarik kertas tergeletak di atas lipatan rapi pakaian itu. Antasena refleks mengambil kertasnya kemudian dibacanya dengan teliti.

Besok pakai ini saja ya, Den, sudah kami pilihkan dan siapkan pakaian yang cocok buat Raden.

-Salam hormat kami, Dawala & Astrajingga.

Antasena tersenyun tipis, tidak rugi di rumahnya ada tiga orang punakawan sebagau asisten rumah tangganya sekaligus penasihat di setiap permasalahan keluarganya. Antasena memindahkan pakaian rapi tersebut ke dalam lemari. Saat berbalik ke ranjang, lagi-lagi matanya menangkap sesuatu yang janggal. Pada tali yang ia pasangi foto kenangan, ada satu foto yang hilang. Antasena mengangkat dan memindahlan bantal, guling, serta selimutnya, namun ia tidak menemui keberadaan fotonya yang hilang.

Ia juga meneliti kolong meja kerja, nakas, dan kolong ranjangnya yang juga tidak ditemui adanya foto tersebut. Mengingat keluarganya masih percaya mitos tanah Jawa, Antasena dengan polosnya berpikir bagaimana jika dirinya terkena ilmu pelet atau santet.

Merasa bodoh, Antasena berganti pakaian dan langsung menghambur ke ranjangnya untuk tidur. Di zaman canggih seperti ini, mungkin orang lain selain keluarganya tidak akan kepikiran hal seperti itu. Saat Antasena memejamkan matanya, jantungnya malah dag-dig-dug entah kenapa. Seperti ada rasa yang mengganjal dalam dadanya. Namun, Antasena berusaha masa bodoh dan akhirnya ia mulai setengah sadar, tak lama Antasena pulas di tempatnya.

***

Pagi itu di Jodipati, tepatnya kediaman Bratasena, geger karena Antasena tidak ada dalam kamarnya. Para asisten rumah tangganya menggedor-gedor pintu kamarnya dan meneriaki namanya. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Antasena dari balik pintu berukiran tipis gaya Jawa-Bali itu.

"Den, Den Antasena," panggil Dawala menggedor pintunya kian keras.

"Jangan main-main lho, Den," sambung Astrajingga yang juga teriak-teriak di tempatnya.

Suasana semakin panas ketika bendara mereka, Bratasena dan anak sulungnya, Antareja menghampiri mereka berdua dengan langkah lugas.

"Dawala," panggil Bratasena. Astrajingga dan Dawala menegang.

Dawala berbalik badan kemudian berucap, "S-saya, Tuan."

"Ada apa ribut-ribut di depan kamar Si Cah Bambung?" tanya Bratasena yang membuat Dawala enggan untuk menjawabnya.

"Nganu ... , Den Antasena, Tuan," sahut Dawala ragu-ragu. Bratasena dan Antareja berjengit heran. "D-Den Antasena, g-gak ada di kamar-"

"Kurang ajar!" seru Bratasena menyergah kasar ucapan Dawala. Bratasena mendobrak pintu kamar Antasena yang sebenarnya tidak terkunci karena terlanjur terbakar emosi oleh kelakuan anak bungsunya itu. Beberapa kali dicobanya dan akhirnya pun terbuka pula pintu itu. Alih-alih melihat Antasena, Bratasena dan yang lainnya hanya melihat ranjang kosong dihadapannya. "Berani dia kabur!" gumamnya berkacak pinggang.

Antareja hanya pasrah ditempatnya. Yang bisa ia lakukan hanya meredam amarah Ayahnya ketika amarah itu sudah meletup-letup. Tak lama Suryanarada datang dengan santai membawa secangkir teh hangat usai sarapan pagi. Disesapnya teh itu seolah tak terjadi apa-apa.

"Kebiasaan," gumamnya kembali menyesap teh hangatnya. Baru saja teh hangat yang nikmat masuk kedalam rongga mulutnya, Suryanarada dibuat mematung oleh kedatangan seseorang yang tiba-tiba. Teh yang baru saja disesapnya kembali keluar dari mulut dan kembali masuk kedalam cangkir.

"D-dadaku mendadak sesak," Suryanarada mengerang sembari memegangi dada sebelah kirinya.

"Wah, wah, ada sidak dadakan, nih," suara dengan nada santai tersebut terdengar familiar di telinga mereka. Kini pandangan semua orang yang ada di depan pintu kamar Antasena terpusat pada sumber suara.

Hening sejenak, kemudian Dawala bergumam, "Den ... ," Dawala tercengan melihat sesosok pria dengan penampilan barunya, sehingga ia tak lagi mampu melanjutkan kata-katanya.

Antareja membisu, tubuhnya mematung, dan matanyapun terbelalak ketika melihat pusat perhatian mereka semua. Begitu pula dengan Astrajingga dan Bratasena, sampai-sampai Bratasena memijat-mijat pelipisnya pusing.

Astrajingga, Dawala, dan Antareja geleng-geleng dan berdecak kagum dibuatnya.

Bersambung...

Done, done, agak pendek tapi gapapa lah yaa, tunggu di chapter berikutnya...

AntasenaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon