11: Cekcok

124 24 2
                                    

Bratasena mengeluarkan sebuah cincin yang matanya adalah sebilah pisau tanpa gagang kira-kira lebar pisau tersebut selebar kuku ibu jarinya dengan panjang kurang lebih 7 cm, kemudian dikenakannya cincin tersebut pada ibu jarinya. ditempelkannya ujung dari pisau tersebut di bibir bagian bawah lalu dijilatnya dengan lembut ujung pisaunya layaknya pembunuh berantai berdarah dingin.

Hal tersebut tentunya membuat siapa saja yang melihatnya akan merinding. Perilaku Bratasena sangat mengintimidasi setiap orang yang berada di sekitarnya, kecuali Antasena dan Wisanggeni. Bratasena agak menggigit-gigit pisau tersebut hingga timbullah suara-suara deritan besi dari giginya, seperti pembunuh bayaran yang berhasil membunuh targetnya tanpa jejak.

"Kalau begitu, Jlamprong," ujarnya mempertegas kalimatnya. "Ketiga calon mempelai pria kita adu. Kita tarungkan mereka satu lawan satu di Alun-alun Madukara agar disaksikan banyak pihak. Kalau perlu kita adakan sayembara," tambah Bratasena menjelaskan.

"Ide bagus!!!" sahutan spontan dari Durna yang menimbali pengajuan sayembara dari Bratasena.  "Bagaimana Janaka?"

" Saya setuju. Tapi ... ini hanya diperuntukkan untuk Antasena, Lesmana, dan Samba saja. Agar tidak menimbulkan kerusuhan serupa," sahut Janaka mengiyakan kemauan Bratasena yang secara tidak langsung mengancamnya.

Di sisi lain, Antasena terbatuk-batuk, ia tersedak pisang yang sedang dikunyahnya karena mendengar kesepakatan yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Yang benar saja? Rebutan satu wanita yang belum pernah ia temui? Bahkan sepupunya sendiri? Sungguh, Antasena sedang berada dalam titik paling malas dan muak dalam hidupnya.

"Antasena, bagaimana? apa kamu setuju dengan kesepakatan ini?" tanya Janaka menatap Antasena sungguh-sungguh. Terlihat dari tarikan nafasnya Antasena menolak, namun saat sorot matanya menangkap Bratasena yang mengacungkan jempolnya dalam keadaan terpasang cincin bermata pisau dengan tatapan yang terkesan memelototinya, seolah berkata "Menolak? tak sobek mulutmu!", Antasena sedang malas untuk bertengkar dengan Bratasena seperti biasanya jika ada perselisihan.

Antasena hanya menghela nafas kasar kemudian berucap, "Nurut aja," ujarnya. "Aku tuh anaknya apa-apa mau kok Om, suruh makan juga mau," lanjutnya celelekan. Mendengar hal tersebut, Bratasena menurunkan acungan jempolnya kemudian bersedekap.

"Lalu, Samba?" Janaka berganti haluan.

"Atas nama cinta, apapun akan saya lakukan, paman. walau harus mati bersimbah darah ditengah Alun-alun Madukara," sahutnya sanagt-sangat yakin.

"Hati-hati kalo ngomong, nanti jadi judul sinetron," sambar Bratasena mendengkus geli mendengar Samba yang sok puitis.

"Sudah, cukup," gumam Janaka lirih, hampir tidak ada yang bisa mendengarnya. "Lesmana, bagaimana denganmu?" tanya Janaka dengan tatapan yang bersungguh-sungguh.

"Terserah," sambar Lesmana dengan tegas namun sedikit terdengar nada feminim dari aksen bicaranya.

"Terserah? Apa maksudnya?" tanya Janaka menaikkan sebelah alisnya, bingung.

"Pada hari ini, paman Madukara (Janaka) akan menyaksikan sendiri, betapa besar dan tulusnya rasa cintaku kepada puteri paman yang bernama Janakawati, kalaupun ketentuannya saya harus berkelahi saya tidak akan menolak!" ucap Lesmana tanpa ragu, namun tetap tenang dan teratur.

"LAAHH?! Lesmana, memangnya kamu berani dengan adikmu Antasena??" Durna kaget, lantaran Antasena bukanlah lawan yang seimbang dengan Lesmana. kini malah Durna yang bimbang dan dilanda keraguan.

"Apa yang perlu saya takutkan? Saya tidak akan mundur, saya tidak akan lari menghindarinya!" sambarnya angkuh. "Ayo, Antasena, sebelum kau memeluk Janakawati, sebelum kau melumat bibir Janakawati, langkahi dulu mayatku, Raden Lesmana Mandrakumara!" Lesmana menantang Antasena dengan tubuh kecil nan ringkihnya seraya membesungkan dadanya.

AntasenaWhere stories live. Discover now