3: Punakawan

190 29 12
                                    

Mendekati hari melamar Janakawati ke Madukara, Antasena menghabiskan waktunya di dalam kamar. Antasena yang biasanya keluyuran hingga tidak mengenal waktu dan wilayah, kini lebih mengurung dirinya dalam kamar. Hari-harinya dihabiskan dengan merenung. Kadang kala Antasena keluar untuk menemui saudara atau temannya.

Hal tersebut membuat Antareja, Suryanarada dan para asisten rumah tangganya khawatir akan kesehatan mentalnya. Dari luar kamar tidur Antasena hanya terdengar suara petikan gitar yang menandakan terdapat kehidupan di dalam sana. Antasena hanya keluar kamar ketika mandi, makan, buang hajat, paling mentok punya janji dengan orang yang ia kenal.

Pagi itu, Dawala dan Cakrawangsa, asisten rumah tangga di rumah Bratasena sedang bersantai setelah menyiapkan sarapan untuk Bratasena. Mereka sedang membicarakan keadaan anak majikannya, Antasena.

"Semakin sini kok Den Antasena lebih pendiam ya?" gumam Dawala.

"Ya, namanya juga anak muda," sahut Cakrawangsa yang sedang mengelap meja.

"Tapi, gak biasanya lho Mas, biasanya suasana rumah ramai dan berisik, semenjak perseteruan panas antara Den Antasena dan Tuan Bratasena, sikapnya lebih pendiam," jelas Dawala.

Hening sejenak, tak lama setelah itu Astrajingga datang membawa piring kosong dan segelas air putih, kemudian memberikan segelas air tersebut kepada Dawala tanpa berkata apa-apa.

"Wah, adik pinter, tau aja Mas-nya haus," ujar dawala sebelum meneguk air tersebut.

"Bukan buat kamu," sergah Astrajingga menghentikan gerakan Dawala.

"Lah terus buat siapa?" tanya Dawala.

"Terus kamu bawa piring buat apa?" sambung Cakrawangsa menatap piring kosong yang dipegang adik bungsunya itu.

"Nah, ini nih, punya kakak dua, tapi bego semua," ujar Astrajingga.

"Aku hantamkan kepalamu ke lantai," ancam Dawala. "Sama kakaknya kok, kayak sama siapa aja," tambahnya.

"Ini juga yang sulung, sama aja pemikirannya pendek," gumam Astrajingga mengerucutkan bibirnya.

"Lama-lama nih anak ngelunjak," gumam Cakrawangsa, kakak sulungnya. Dawala mendekati Astrajingga kemudian memitingnya.

"Heh, heh, mau ngapain ini?! Jangan Mas, aku masih perjaka!" teriak Astrajingga.

"Perjaka, perjaka, kepalamu batu!" timbal Dawala kasar.

"Kasih tau gak itu piring buat apa?" tanya Cakrawangsa menjambak kerah baju Astrajingga.

"Iya, iya, lepasin dulu baru aku jelasin," sahut Astrajingga.

Cakrawangsa dan Dawala melepaskan Astrajingga, kemudian menajamkan pendengarannya. Astrajingga tak kunjung menjelaskan untuk apa piring itu. Cakrawangsa dan Dawala mengepalkan tangannya bersiap melontarkan bogeman mentah pada adik bungsu mereka yang menyebalkan itu.

"Nungguin ya?" goda Astrajingga tersenyum.

Cakrawangsa dan Dawala mengacungkan bogeman itu kepada Astrajingga yang membuatnya berteriak minta ampun. Lantas Astrajingga menceritakan dan menjelaskan untuk apa benda itu.

"Kalian kan pengen tau kondisi Den Antasena kan?" tanya Astrajingha. Cakrawangsa dan Dawala mengangguk.

"Nah, piring ini buat wadah nasi goreng tadi pagi," sambung Astrajingga.

"Hubungannya apa?!" tanya Cakrawangsa dan Dawala serentak. "Kaga paham saya," tambah Dawala kesal. Astrajingga menepuk dahinya.

"Kan Den Antasena belum sarapan tuh, nah kita anterin sarapan ke kamarnya," jelas Astrajingga kepada kakak-kakaknya. "Dengan begitu kita bisa masuk dan berbincang dengan Den Antasena," tambahnya agar lebih jelas.

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang