25. Tak Disangka

145 21 3
                                    

Langit senja membentang di sepanjang jalan. Cahaya merah oranye menghiasi awan-awan putih yang bergumpalan, membuat pantulan yang indah di aliran sungai Serayu. Antasena bersenandung pelan ketika ia mengendarai sepeda motornya. Alunan nada lagu "Ditepinya Sungai Serayu" melukiskan warna merah lainnya di pipi Janakawati.

Diam-diam, Antasena mencuri pandangan untuk melihat senyum kecil yang tersungging di wajah Janakawati. Semakin lama, semakin lirih senandungnya. Dan sejalan dengan lirihnya nada-nada itu, lamunan Janakawati mulai memudar. Ia melihat kaca spion, kemudian tatapannya berlabuh kepada sepasang mata yang secara terang-terangan menatapnya.

"Apa?" tanya Antasena. "Kenapa kamu melamun?''

"Eh? ng...," Janakawati kikuk dibuatnya. Dirinya hanyut terbawa arus sungai Serayu, yang ditembangkan oleh Antasena.

"Waktu senja di tepi sungai Serayu, bahkan lebih indah dari waktu fajar," gumam Antasena.

"Kangmas," panggil Janakawati.

"Dalem, Yayi?"

"Apa ... di tepian sungai Serayu ini, sepi seperti ini ketika di waktu senja?" tanya Janakawati ragu-ragu akan jawaban Antasena.

"Hmm, biasanya tidak sesepi ini," jawab Antasena. "Apa mungkin sekarang hanya ramai kalau weekend saja."

Tak lama setelah Antasena menjawab pertanyaan yayi-Nya, gerung motor dan juga mobil berada di belakangnya. Empat motor dengan masing-masing motor dua penumpang, berpakaian serba hitam, dan satu mobil yang cukup besar sekurang-kurangnya terdapat empat sampai lima penumpang.

Antasena menajamkan matanya ketika ia melihat kaca mobil itu tersorot cahaya senja. Ia tak dapat melihatnya, Janakawati menolehkan pandangannya ke belakang, matanya berlabuh dengan salah satu penumpang di sepeda motor yang berada di kanan. Penumpang itu melemparkan tatapan nakal dan menggesekkan jempolnya ke leher, mengisyaratkan bahwa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak baik.

Janakawati ketakutan. Ia mendekap erat punggung Antasena, kemudian dengan setengah teriak ia mengutarakan rasa takutnya. Antasena mempercepat kendaranya, kemudian ketika sudah agak jauh dari pengejar dirinya menghentikan laju sepeda motornya.

"Yayi, lari!" seru Antasena dengan nada tingginya. Namun, janakawati tetap mendekapnya. "Yayi, apa yang kamu pikir? Lari! Sekarang!"

"Tidak, Kangmas. Aku takut," rintih Janakawati.

Janakawati tetap mendekapnya. Sementara dihadapan mereka telah tiba bahaya yang mengancam. Sial, bala Hastinapura! Antasena menyambunyikan tubuh Janakawati di belakang punggungnya. Preman-preman Hastinapura itu berhenti dihadapannya, layaknya preman pada umumnya mereka turun secara bergerombol dan mengepung Antasena dari segala sisi. Diantara mereka, terlihat juga Citraksi, Citraksa, Kartawarma dan Durmagati.

Tak lama setelah itu, turunlah Lesmana, Durna, Aswatama, serta Sengkuni yang notabenenya sebagai supir si putra mahkota. Aswatama menggertakkan persendiannya kemudian maju untuk turut serta dengan pengepung yang lain. Tubuh jangkung Aswatama tak membuat Antasena gentar. Ia justru maju mendekatinya.

"Hey," panggil Aswatama sedikit menoleh ke belakang. Dengan tatapan tajamnya ia melirik lesmana dan berkata, "Kau beruntung aku berhutang budi kepada Ayahmu."

Lesmana memalingkan pandangannya. Durna mengeratkan kepalan tangannya mendengar ucapan pedas anaknya. Lesmana memang merepotkan dan seenaknya menggunakan kekuasaan.

"Terserah kau, anak kuda," gumam Sengkuni di sebelah Lesmana. Kini tatapan tajam Durna yang menusuk Sengkuni.

Kepungan semakin lama semakin kecil, Aswatama mendekatkan wajahnya dengan wajah Antasena. Antasena menggenggam pergelangan tangan Janakawati dengan erat. Antasena tidak berubah posisi barang sedikitpun. Ia bahkan seolah menantang pasukan kecil yang berisi orang-orang besar itu.

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang