2: Perjodohan

214 43 7
                                    

Malam itu menjadi malam yang tegang bagi Antareja dan Suryanarada karena dua macan lapar yang sama ganasnya sedang berseteru di hadapan mereka.

"Bapak sudah berdiskusi dengan pamanmu, Janaka," ujar Bratasena kembali tenang sembari menatap tajam Antasena yang tadinya berada di sebelahnya, kini berpindah tempat tepat di hadapan Ayahnya.

"Berdiskusi apa, Pak?" sergah Antasena yang belum bisa menerima kenyataan.

"Berdiskusi soal perjodohanmu dengan Janakawati," timbal Bratasena menyambar pertanyaan Antasena.

Menikah dengan sepupu sendiri? Yang benar saja. Jelas Antasena menolak. Selain itu, Antasena masih ingin melajang. Karena memang setelah menikah ia tidak akan bisa sebebas pada masa lajangnya seperti saat ini.

"Jadi, Bapak kemarin ke Madukara, ke rumahnya om Janaka?" tanya Antasena menyipitkan matanya.

"Ya," sahut Bratasena seadanya.

"Sebentar, Pak, Bapak gak ngomong apa-apa, gak minta fotocopy KTP juga kok mau nikahin aku?" gumam Antasena yang kesal dengan Ayahnya. "Maksudnya gimana, Pak?" tambahnya dengan nada kecewa yang begitu mendalam.

"Waa..., Antasena, kamu jangan mengelak, atau bahkan menolak," Bratasena menatap anaknya dengan tajam. "Diskusi dengan pamanmu Janaka sudah mencapai kesepakatan mutlak," sambung Bratasena.

"Terus kenapa gak ngomong ke aku?" sambar Antasena dengan nada yang agak tinggi.

"Karena kamu anaknya keras kepala, kadang juga tidak nurut jika dinasihati," jawab Bratasena menajamkan setiap katanya. "Alasan aku menjodohkanmu dengan Janakawati agar kekerabatan antara Jodipati dan Madukara menjadi lebih erat," tambahnya memperjelas.

"Ya, ya terserahmu apapun alasannya pokoknya terserahmu," sergah Antasena kasar. "Tapi, kalau Bapak mau menikahkan aku dengan Janakawati, maaf aja aku gak sanggup," tambahnya.

"Jangan gila kamu, Antasena!" bentak Bratasena mengacungkan telunjuknya, membuat bulu kudu kakak-kakak Antasena berdiri tegak.

Bentakan tersebut membuat Antareja dan Suryanarada bergidik ngeri. Mereka sudah berancang-ancang untuk melerai pertengkaran keduanya.

"Aku gak gila, aku waras, tapi aku gak sanggup. Karena aku gak didasari rasa cinta," jelas Antasena dengan keras kepala.

"Rasa cinta timbul dengan keterbiasaan, biasakan dirimu untuk bercengkrama dengan Janakawati-"

"Aku kalau mengikuti cara Bapak, cewek-cewek semua pada mau sama aku, tapi aku selalu menolak," sergahnya mencoba tenang, tetapi nada bicaranya menunjukan bahwa amarahnya sudah di ubun-ubun. "Pokoknya aku gak mau. Lagi, saat ini aku belum mau menikah dan masih mau melajang," tambahnya mempertajam kalimatnya.

"Antasena," panggil Bratasena.

"Apa?" sahutnya dengan kasar.

"Aku siapa?" tanya Bratasena.

"Kamu Bapakku," sahut Antasena menatap tajam Ayahnya.

"Kewajiban anak kepada orang tuanya," gumam Bratasena.

"Menuruti segala perkataan orang tuanya," sambung Antasena.

"Maka dari itu sekarang jangan sampai kamu menolak kemauan Bapak," Bratasena menatap geram anaknya sembari mengerutkan alisnya. "Sampai kamu menolak, aku tidak mau menganggapmu anakku," tambahnya menekankan kalimat terakhirnya.

"Nah ini nih, jelekmu disini, kalau punya permintaan gak diturutin ancamannya gak nganggap aku anak," timbal Antasena dengan senyum masam. "Terus aku anaknya siapa? Udah terkenal jadi anaknha Bratasena kok gak dianggap, terus anaknya siapa?" sambungnya.

AntasenaWhere stories live. Discover now