18. Pesta

177 28 5
                                    

Suara geber motor berhenti di parkiran depan alun-alun Madukara. Wisanggeni memimpin jalan didepan kakak sepupunya. Antasena dengan lunglai dan perasaan lelah yang tak tertahankan mengikuti langkah adiknya.

Antasena sudah melihat panggung mempelai yang berdiri di tengah lapangan. Matanya juga berlabuh kepada pamannya, Janaka yang sibuk dengan menelepon yang sepertinya ada kaitannya dengan transaksi sewa tenda tamu dan pelaminan.

Sederhana saja, namun terlihat elegan. Itu yang dipikirkan Antasena saat pertama melihat tenda hajatannya.

"Woy! Ngapain?!" seru Wisanggeni dari belakang pelaminan dengan Antareja dan Abimanyu yang berdiri dibelakangnya, menyambut kedatangan Antasena.

Antasena bergegas menghampiri mereka yang langsung disambut tarikkan di pergelangan tangan dari adiknya. Wisanggeni menyeret Antasena hingga terduduk di kursi kayu darurat yabg dibuat oleh saudara-saudaranya ketika membangun tenda resepsi.

Suryanarada dan kakak sepupunya, Pancawala, putra dari Yudistira sedang memasang bendera gank mereka yang bertuliskan "Pirata Amarta Putra Pandawa". Jika semua orang membuat gank dengan teman-teman sepermainannya, anak-anak para pandawa bersaudara membuat gank untuk keluarga mereka sendiri yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki.

Hal tersebut menimbulkan rasa solidaritas sesama saudara yang mempererat tali silaturahmi antara mereka. Tak lama, Kresna datang bersama Narakasura dan Samba, disusul pula oleh Baladewa dan istrinya yang jelita, Erawati.

"Wahh, tamu jauh!" teriak Abimanyu antusias menyambut paman, bibi, dan sepupunya yang berasal dari luar kota.

Rombongan Kresna dari Dwarawati dan Baladewa dari Mandura menghampiri si calon mempelai yang terduduk lemas seperti orang kelelahan, kemudian memberi selamat yang dibalas Antasena dengan senyum dan ucapan terimakasihnya.

Bratasena datang membawa cawan-cawan kecil kurang lebih dua lusin dan beberapa botol kaca yang berisi dan Yudistira berjalan disebelahnya dengan membawa kartu juga dadu yang dilemparkannya ke atas meja.

"Pesta di malam yang berbahagia?" tanya Yudistira dengan nada mengajak.

Seluruh orang yang berada di sana saling pandang dan bersorak-sorai, kecuali Antasena yang terlihat kurang antusias.

Cawan-cawan kecil mulai dibagikan dan diisi satu per satu, mereka semua bersulang untuk Antasena dan Janakawati. Baladewa meminta Erawati untuk berkumpul dengan istri-istri Pandawa lainnya di depan pelaminan, Erawati pun mengiyakan keinginan suaminya.

Antasena menenggak cawannya yang berisi, aroma minuman itu memenuhi ruangan dadakan yang terlihat seperti tenda transit para seniman panggung ke panggung. Ia menuangkan kembali minuman dari botol kaca itu ke cawannya, namun kali ini ia tak meminumnya. Ia menyiramkannya ke atas kepala dan membasahi rambut, mengalir melalui hidungnya yang mancung, kemudian menuju bibir, dan terus mengalir ke bawah hingga membasahi kemejanya.

Wisanggeni yang tanggap kepada saudara sefrekuensinya menyikut dada Antasena seraya melempar kartu ke meja setelah Abimanyu. Ia bertanya, "Apa yang membuatmu gundah?"

"Aku ..." Antasena menjawab lirih, kemudian menghela nafas panjang dan berkata, "Aku tak apa."

Antasena berjalan keluar yang disusul pertanyaan dari Wisanggeni, "Kemana?!" serunya dengan suara yang memekakan telinga.

"Cari angin!" sahut Antasena dengan sama kerasnya.

Antasena berjalan keluar tenda, kemudian menghampiri Antareja yang terduduk disebelah lampu taman alun-alun. Sendirian, bertemankan Yuyudana dan Pragota, kepala keamanan kantor pemerintahan Kresna dan Baladewa.

AntasenaWhere stories live. Discover now