9: Madukara

147 24 4
                                    

"Waaa....," guman Bratasena terkagum-kagum melihat penampilan baru Antasena, putera bungsunya.

Jelas saja mereka semua kaget melihat Antasena. Karena biasanya Antasena selalu mengenakan celana jeans hitam dengan atasan kaos hitam dan jaket atau kemeja kotak-kotak saja. Tapi khusus untuk hari ini, penampilannya terlihat formal walau lamarannya hanya formalitas belaka, hanya untuk memberi tanda 'jadi' akan pernikahannya dengan Janakawati.

Memangnya seperti apa? Sebetulnya simpel. Kemeja batik berkombinasi warna coklat dan hitam yang tidak tidak terlalu ketat, hanya sedikit menampilkan dada bidangnya dan dilipat hingga siku, tak lupa membuka kancing kerahnya agar tidak terlalu sesak dan dimasukkan kedalam celana agar terlihat rapih.

Celana hitam yang dilicin halus berpadu dengan ikat pinggang polos, sepatu pantopel hitam menambah aura kelelakiannya. Rambutnya disisir belah samping mengenakan minyak rambut, dan menyisakan beberapa helai uraian rambut yang menjuntai ke matanya.

"Parah," gumam Astrajingga berdecak kagum. "Rahangnya kukuh banget, bikin gairahku-"

PLAKK!!...

Tamparan keras Dawala menyambut kalimat Astrajingga. "Kamu cowok," ucap Dawala meluruskan adiknya.

"Ahahay," timbal Astrajingga geli sembari menutup mulutnya. "Bercanda," tambahnya menyikut-nyikut tubuh jangkung Dawala.

"Jadi berangkat gak?" Akhirnya Antasena ikut bergeming dalam kegegeran disitu. "Udah males banget lho ini."

Dawala berdeham untuk membuyarkan lamunan bendara-bendaranya. "Ndara, silakan, mobilnya sudah disiapkan," ucap Dawala mengacungkan ibu jarinya ke arah pintu keluar. Terlihat dari cela pintu yang terbuka, Cakrawangsa sedang bersandar du depan spion mobil sembari mencukur kumis dan janggutnya.

Bratasena mengangguk kemudian menatap Antasena. "Ya," sahut Bratasena seadanya yang terdengar kaku.

"Hati-hati, Ayah," ucap Antareja.

"Selamat sampai tujuan, Rama," sambung Suryanarada sembari mengatupkan telapak tangannya di depan hidung dan kemudian mengangguk lembut, seperti yang diajarkan Arimbi kepadanya untuk menghormati orang tua.

"Ya," timbal Bratasena.

"Kita jadi ikut 'kan, Tuan?" tanya Astrajingga polos. Dawala menyikut lengan Astrajingga.

"Waa..., Punakawan semua ikut," sahut Bratasena. "Antasena," sambungnya memanggil puteranya.

"Hmm...," Antasena menggeram sebagai tanda 'iya', kemudian meninggalkan Bratasena dan Punakawan, berlenggang menuju mobil yang sudah disiapkan.

"Monggo, yang punya hajat di depan saja, Den," ucap Cakrawangsa dengan nada jenaka namun tetap sopan.

"Belakang saja," Belum sempat Cakrawangsa melayani Antasena sebagai  supirnya, Antasena sudah membuka dan menutup pintu mobilnya sendiri. Cakrawangsa mengangguk segan kepada Raden-Nya itu.

Setelah semua masuk kedalam mobil sedan klasik berwarna hitam tersebut, Cakrawangsa langsung melajukan mobil tua tersebut ke Madukara. Suasana di dalam mobil sepi, walau ada dua biang kerusuhan di dalamnya. Ya, biang kerusuhan itu adalah Astrajingga dan Antasena itu sendiri.

Bratasena sedang asik mendengarkan langgam Jawa pada radio mobil dengan volume yang hanya bisa didengar oleh dirinya dan Cakrawangsa. Cakrawangsa sendiri sangat sungkan dan segan untuk membuka pembicaraan maka dari itu ia lebih fokus menyetir. Tidak lupa Astrajingga dan Dawala yang tertidur karena dimabukkan oleh pewangi mobil aroma jeruk.

Lantas, apa yang dilakukan si pemilik hajat? Antasena hanya duduk terdiam tanpa berkata-kata. Biasanya, Antasena dan Astrajingga adalah dua orang yang paling jago membuat ricuh suasana, tapi kini ia hanya menatap keluar jendela sembari membaca tulisan spanduk bahkan baliho yang dirinya temui di sepanjang jalan.

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang