23. Punya Adik?

131 25 9
                                    

Setelah beberapa waktu berbincang empat mata, mereka berdua mulai dekat dan saling mengenal. Janakawati tahu bagaimana Antasena lahir, ia tahu bagaimana Antasena bisa terpisah jauh dari orang tuanya, ia pun tahu bahwa Antasena pernah dituduh anak dari Ayahnya.

Yang paling Janakawati suka adalah cerita dimana Antasena membantu kakaknya, Wisanggeni, untuk meminang Kencana Resmi. Bisa-bisanya ia mengajarkan kakak-kakaknya untuk mencuri pusaka berharga dari gubernur Dwarawati, Sri Bathara Kresna.

Tak jarang cerita Antasena membuatnya tertawa lepas dan ceria. Hanya satu yang tidak berani ia tanyakan, yaitu usia. Perlahan dan dengan dorongan hati, Janakawati mulai berani bertanya berapa umurnya.

Antasena mendengus kemudian meraih serpihan keramik tanah liat yang berserakkan di pinggiran sungai. Kemudian ia berkata "unurku sudah lebih dari cukup, Yayi."

"Umurku dua-puluh sembilan, Yayi," lanjutnya. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Antasena melemparkan serpihan keramik itu ke air sungai. Benda keras itu memantul-mantul di permukaan air hingga mendaratlah pecahan keramik itu di seberang sungai yang cukup lebar.

Janakawati menatapnya dengan tatapan berbinar, seperti anak kecil yang tak sengaja melihat mainan lucu di depannya. Antasena yang sadar dan paham akan hal itu menyodorkan pecahan genteng tanah liat kepada sang Yayi.

Janakawati menundukkan pandangan yang malah mendapati kaki Antasena menyentuh kakinya dalam aliran air sungai.

"Aku tahu kamu mau coba," goda Antasena yang membuat Janakawati menahan senyum dan meraih pecahan keramik itu.

"Caranya?" tanya Janakawati.

"Lempar aja," jawab Antasena.

Seketika Janakawati melemparnya. Alih-alih memantul, pecahan genteng itu malah langsung tenggelam dan lenyap terbawa arus sungai. Antasena tertawa akan hal itu, mengingat bahwa Janakawati adalah anak yang dimanja oleh ibunya. Ia tidak pernah diperbolehka  keluar Kaputren Madukara oleh sang ibu.

"Hmm," geram Antasena kembali memberikan lempengan-lempengan kecil tanah liat seperti pecahan gentenh, keramik, gelas cawan, piring, dan yang lain sebagainya. Ditaruhnya diantara tempat duduk mereka.

Antasena menggenggam tangan Janakawati yang memegang serpihan piring keramik, kemudian memberikan arahan cara melempar batunya. Saat hitungan ketiga, dibantu oleh Antasena, lepmaran Janakawati berhasil memantul di atas permukaan air sungai walaupun hanya tiga kali pantulan.

Senyum Janakawati merekah setelah bisa melakukannya. Antasena melepas genggamannya dan meminta Janakawati melakukannya sendiri. Ia memandangi Janakawati yang sedang asyik melempar-lempar benda padat itu. Lambat laun, pantulannya semakin jauh.

"Jauh-jauhan," gumam Antasena yang ikut meraih pecahan cawan sambil tersenyum menahan tawa melihat tingkah lucu Janakawati.

"Satu," gumam Janakawati menghitung kapan mereka mulai melemparkannya.

"Dua," lanjut Antasena mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya.

"Tiga!" seru mereka berdua seraya melemparkan benda kecil itu bersamaan. Whuzz!... serpihan yang dilemparkan Antasena melesat dengan cepat. Terlihat arus sungai terpecah oleh lemparannya, sampai-sampai pecahan itu tak hanya berhenti di seberang sungai, batu itu menerabas semak-semak pinggiran sungai hingga membuat lubang pada semak-semak rungkut itu.

"Hey!" terdengar seruan orang di sekitar mereka. Namun Antasena dan Janakawati tidak menghiraukannya. Dari suaranya, sepertinya ia adalah laki-laki muda, lebih muda dari Antasena.

Antasena dan Janakawati kembali melemparkan serpihan tanah liat. Dan terulang kembali, milik Antasena melesat cepat dan kuat seperti petir, dan menembus semak-semak, membuat lubang ke-dua di sana. "Aw!" suara seorang wanita terdengar di sana.

AntasenaDär berättelser lever. Upptäck nu