Prolog

268 43 14
                                    

Sunyinya malam, hanya ditemani cahaya remang-remang lampu teplok dan suara nyaring jangkrik dan katak. Di gubuk pinggir sawah, tempat favoritnya untuk merenung, Antasena membenamkan wajahnya di balik sedekapan tangannya yang memeluk lutut.

"Apa salahnya kalau aku belum mau menikah?" gumamnya dengan nada marah dan kesal. "Aku cuman mau bebas dari tanggung jawab satu tahun lagi saja," tambahnya lagi.

Keadaan kembali hening setelah Antasena menggerutu, meluapkan isi hatinya. Tiba-tiba saja terdengar suara yang familiar baginya.

"Malam-malam begini, apa gak kedinginan?" sontak suara tersebut membuat Antasena menegakkan kepalanya dan menoleh ke arah sumber suara.

Terlihat jelas seorang pria berdiri tepat di belakangnya. Antasena kembali mengalihkan pandangannya dari pria tersebut. "Mas Antareja," gumamnya sembari mengedarkan pandangannya ke hamparan sawah yang hijau di hadapannya.

"Apa yang membuat ksatria kecil ini takut untuk menikah?" Antareja berujar seraya berjalan menghampiri adiknya, kemudian duduk di sebelahnya. Antasena hanya terdiam menatap gelapnya malam. "Satria ndugal, seharusnya tak ada yang perlu kamu takutkan," tambahnya dengan tenang dan sabar.

"Apa yang harus aku takutkan dari hal itu?" sambar Antasena dengan nada yang keras setelah mendengar kata-kata kakaknya yang seolah menganggapnya masih anak ingusan. Antasena diam sejenak, kemudian menghela nafas kasar melepas kelelahan dalam hatinya. "Kenapa gak Mas saja? Seorang petinggi seperti Mas memiliki dua istri adalah hal yang wajar," sambungnya.

"Bukan begitu, Bapakmu hanya mau yang terbaik untukmu," sahut Antareja dengan sabar menghadapi adik bungsunya yang keras kepala, sama seperti Ayahnya, Bratasena. "Kamu lihat sepasang kunang-kunang disana?" tanya Antareja mengacungkan telunjuknya ke arah sepasang kunang-kunang yang sedang gandrung.

Antasena mengalihkan pandangannya ke arah sepasang kunang-kunang yang ditunjuk oleh kakaknya. "Ya, lalu?" sahut Antasena kasar. Antareja terlihat tenang melihat sepasang kunang-kunang yang menari di tengah kegelapan itu.

"Kadang, yang kita pikir buruk belum tentu buruk. Antasena yang Mas kenal, adalah orang yang memikirkan sesuatu dengan matang. Coba pikirkan kembali soal pernikahan itu, Antasena," jelas kakaknya yang masih asik memandangi sepasang kunang-kunang yang sedang memadu kasih di bawah kerlipan bintang.

Saat Antasena mencerna apa yang baru saja kakaknya katakan, terlihat seekor katak yang menyambar salah satu dari sepasang kunang-kunang itu. Hal tersebut membuat Antareja membulatkan matanya kaget.

"Kadang juga yang kita kira baik itu buruk, Mas Antareja," balas Antasena menajamkan perkataannya, kemudian beranjak dari gubuk itu dan berlenggang pulang meninggalkan Antareja yang masih duduk terpaku memikirkan nasib adiknya, juga nasib kunang-kunang yang ditinggal wafat oleh pasangannya yang dimangsa oleh si katak.

-ANTASENA-

AntasenaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu