15: Curang

110 27 3
                                    

Diseretnya Samba sampai ke pendopo. Samba dibawa oleh Janaka hingga jalannya sempoyongan. Janaka mulai melepas genggaman tangannya dari pergelangan tangan Samba kemudian mulai menggeledahnya seperti polisi yang menggeledah bandar narkotika atau sejenisnya. Hal tersebut tentu saja menjadi tontonan bagi Bratasena dan Antasena.

Sesekali terdengar suara Samba yang bergeming, "Apa yang paman lakukan?" katanya seraya digeledahi pakaiannya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hingga akhir pencarian Janaka adalah di saku celana belakang sebelah kiri milik Samba. Sebuah liontin bunga yang cantik dengan permata yang berpendar berwarna merah jambu itu diambil oleh Janaka.

Tak perlu waktu yang lama Janaka langsung mendorong pelan Samba ke tengah tanah lapang tempat dirinya dan adik sepupunya berseteru, begitu juga dengan Bratasena yang mendorong Antasena sehingga kini Samba dan dirinya kembali berhadapan.

"Jadi begitu, ya," gumam Antasena dengan datar masih tidak percaya.

"Hajar! Jangan kasih ampun!" seru Bratasena dari atas pendopo.

"Apa?!" Samba kaget ketika sadar bahwa ia harus mengulangi pertarungannya, bahkan tanpa kalung Sekar Wijaya Kusuma.

Tanpa pikir panjang, Samba berlari kemudian menghamburkan pukulan dan tendangannya secara bertubi-tubi ke arah-arah rawan tubuh Antasena. Tak disangka, tanpa mustika itu, serangan Samba bukanlah apa-apa. Ternyata memang benar, Samba bukanlah tandingan Antasena.

"Mati kau, Antasena!" gumam Samba yang berambisi untuk mendapatkan apa yang ia inginkan disana.

Semakin lama Antasena membiarkannya, maka semakin habis pula tenaga Samba. Dan saat itu juga Antasena mendorong tubuh Samba hingga terpelanting. Diangkatnya tubuh kecil Samba seperti karung beras, kemudian dihempaskannya kembali ke tanah. Terasa sadis, namun karena niatnya adalah menuruti kata orang tua, sorot mata Antasena penuh dengan kata maaf ketika tatapan matanya bertabrakan dengan sorot mata Samba.

Sampai pada titik lemah Samba, Antasena menghentikan serangannya. Antasena melihat ke arah gerbang Kesatrian Madukara (Kediaman Janaka), terlihat jelas olehnya Kresna dan Narakasura sedang berdiri di samping pagar. Diseretnya Samba hingga jalannya tertatih-tatih dikarenakan pitingannya yang tidak dapat dilepas olehnya.

Antasena membawanya hingga ke hadapan Kresna dan Narakasura hingga membuat mereka tercengang. Apa gerangan yang membuatnya disiksa sedemikian rupa? Begitu pikirnya. Sampai pada akhirnya, derap langkah Bratasena dan Janaka menyusulnya.

Saat Antasena hendak melepas kunciannya dari tubuh ringkih kakak sepupunya tersebut, Samba berkata, "Adimas, lepaskan aku. Aku sudah bertaubat Adimas, aku kapok," katanya dengan nada pasrah.

"Waa...,  Antasena," panggil Bratasena membuat Antasena menoleh ke arah sang ayahanda.

"Hah? Apaan?" sahut Antasena.

"Kalau dia belum minta maaf jangan dilepas, waa..., dasar licik! Dibantu sama orang tuanya. Kalau memang saling bantu membantu, Antasena suruh mundur, Samba suruh mundur, biar yang tua dan yang tua--" ujar Bratasena yang kemudian disela oleh Kersna.

"Dah, dah, dah..., sudah Bratasena, sudah," kata Kresna.

"Kenapa, pakdhe?" tanya Antasena yang masih memiting Samba di tangan kanannya.

"Aku minta maaf ya, Antasena," sahut pria berkemeja motif parang dengan warna coklat tua tersebut.

"Samba, kakakmu, aku bantu. Aku beri pusaka Kembang Wijaya Kusuma lengkap dengan rapalan aji-ajiannya. Dan tadi aku melihat kalung itu diambil Janaka." terang Kresna.

"Waa..., Jlamprong suruh sini!" suruh Bratasena kepada punakawannya yang tak lain adalah Astrajingga.

Astrajingga berbalik badan, kemudian bergumam, "Prong, Jlamprong," ujarnya. Hal tersebut tentu saja membuat Janaka emosi.

AntasenaWhere stories live. Discover now