Spesial Ramadhan 1444 H / 2023 M

123 23 5
                                    

Bulan suci, bulan penuh berkah, ya Bulan Ramadhan. Banowati membereskan bekas makannya dan suaminya di atas meja makan istana pemerintahannya. Lesmana berjalan keluar terburu-buru seperti ada yang memanggilnya dari taman yang berisik malam itu.

Lebih berisik dari biasanya. Duryudana memanggil puteranya itu, "Lesmana, kemana kau?" tanya Duryudana.

"Main keluar," jawab Lesmana baru membuka pintu ruang makan.

"Tadi siang kamu kelihatan lemas, kenapa sekarang semangat?" tanya Duryudana.

"Duduklah dulu, Lesmana. Makananmu belum turun, nanti perutmu sakit," ujar Banowati dengan nada yang penuh kelembutan.

"Tapi aku mau lihat kembang api sama tante Dursilawati," Lesmana dengan kata membujuknya melepaskan gagang pintu.

Banowati menatap Duryudana meminta kepastian, apakah putera semata wayangnya itu dibolehkan bermain atau tidak. Duryudana membalas tatapan Banowati dengan senyuman manis dan hangatnya yang penuh dengan rasa cinta juga kasih sayang.

"Boleh anakku, silakan saja," baru selesai Duryudana pada kalimat itu, Lesmana sudah langsung bersorak dan meraih latto-latto yang terselip di ikat pinggangnya. Suara "tak-tek-tak-tek" cukup membuat penat Duryudana kian terasa, namun tetap ditahannya karena tidak enak dengan Banowati yang berada didekatnya.

"Yayi, sepertinya sekarang aku harus tidur dan istirahat," gumam Duryudana dengan nada lelah.

"Kakangmas, tidak sholat tarawih dulu?" tanya Banowati berdiri disebelahnya setelah menyelesaikan cucian piring yang ditinggalkan suami serta anaknya itu.

Duryudana menarik tangan Banowati dengan lembut, kemudian tangannya berpindah ke pinggang dan menuntut istrinya duduk dipangkuannya. Duryudana berkata seraya memeluk Banowati dari belakang, "Aku sudah tidak sanggup, mungkin aku sedang rapuh dan terlalu lelah," Duryudana membenamkan wajahnya di leher Banowati yang meringkuk geli.

"Kuantar ke kamar, Kangmas," tawar Banowati.

"Terimakasih, Banowatiku," jawabnya menerima tawaran itu. Dan mereka berdua berjalan menuju kamar, meninggalkan ruang makan yang sudah bersih seperti sedia kala.

Sesampainya di kamar, Duryudana mengambil wudhu kemudian menggelar sajadahnya dan terduduk dengan memangku Al-Quran. Hal tersebut membuat Banowati heran dan bertanya, "Kangmas bilang, Kangmas mau tidur?"

Duryudana menjawab, "selain berisik diluar sana, aku gak mau ninggalin sholat tarawih. Sekarang ambil wudhu, amparkan sajadahmu dan pakai mukenamu, Yayi."

"Tapi kenapa tidak di Masjid Assyifa bersama saudara-saudaramu yang lain?" tanya Banowati keheranan.

Duryudana tertawa kecil menghadapi istrinya. Ia menjawabnya, "sekarang jadwal imam masjid yang memimpin tarawih adalah Citraksi, berapa lama tarawih itu akan berlangsung? Maaf, bukan merendahkan adikku si Citraksi. Tapi, aku kadang suka tak sanggup menahan tawa ketika mendengarnya tergagap saat stor hafalan waktu kita belajar dengan Resi Dorna." Banowati tersenyum kecil menahan tawa. "Tertawalah, Yayi," pinta Duryudana yang akhirnya tawa Banowati pun keluar, namun masih tertahan.

"Serius, Yayi. Ditambah, malam ini yang menyampaikan tausiah adalah Durmagati. Entah siapa yang membuat jadwal IRMA di Masjis Assyifa. Pasti akan lama, mungkin bisa empat jam," ujarnya lagi yang membuat istrinya itu tertawa-tawa.

Setelahnya mereka sholat tarawih berdua di dalam kamar, ditengah kegaduhan diluar. Tepatnya di taman sebelah utara istana pemerintahan Hastinapura, didepan kamar tidur Duryudana beserta istrinya.

Terdengar suara kembang api yang meledak-ledak. Dursilawati mengasuh keponakannya yang seumuran, Lesmana Mandrakumara yang tengah asik menonton pertunjukkan kembang api yang dimainkan oleh tantenya.

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang