Hati Affan mencelos. Semua perkataan Ozi seakan menjadi pukulan telak bagi dirinya. Selama ini ia seakan lupa dengan putra sulungnya yang merasa kesepian. Segala gemerlap dunia yang dirinya berikan pada Ozi bukanlah cara untuk menebus segala waktu dan kasih sayang yang belum bisa ia berikan sepenuhnya pada putranya. "Ozi—"

"Ayah yang tidak pernah meluangkan waktunya demi Ozi, akhir-akhir ini sering pulang," potongnya tertawa getir. "Hanya untuk menghukum putra kandungnya demi membela anak tirinya itu. Seandainya Ozi tidak berjanji pada bunda untuk selalu bersama Ayah, Ozi tidak akan pernah dan tidak sudi menginjakan kaki di sini."

Pria dengan setelan kemeja putih itu melempar revolver digenggamannya ke arah sudut ruangan dan tepat mengenai vas bunga. "Ayah tahu kamu kekurangan kasih sayang Ayah, tapi bukan berarti menyakiti saudara tirimu. Rasa iri yang berhasil merubah dirimu menjadi pendendam, membuat banyak orang tidak bersimpati padamu."

"Persetan dengan semua itu! Ozi tidak butuh belas kasihan dari orang lain!" balasnya. "Jevan, Jevan, dan Jevan. Selalu dia! Anak haram tidak tahu diri itu berhasil membuat seorang ayah melupakan putra kandungnya sendiri."

"Ozi, dia—"

"Jika Ayah berniat melepaskan peluru pada Ozi, jangan ragu," ujarnya meraih tas yang tergeletak di lantai. "Daripada harus menahan sakit melihat kedekatan ayah dengan keluarga barunya, lebih baik Ozi mati."

Affan menghembuskan napasnya pelan. "Jangan mengungkit masalah pernikahan Ayah yang dilaksanakan tanpa sepengetahuanmu. Semua itu Ayah lakukan karena takut kamu kecewa."

"Bagaimana bisa kecewa pada orang yang tidak lagi Ozi harapkan?" Ozi tertawa pelan mengingat hidupnya yang berantakan. "Ozi sudah lama melihatnya. Malam terakhir sebelum kematian bunda, dengan mudahnya Ayah membawa pulang seorang jalang."

Wajah pria itu pias. Lidahnya kelu seakan tak mengizinkannya mengatakan apapun pada sosok rapuh di hadapannya. "Ozi, bagaimana—"

"Terkejut? Itu yang Ozi rasakan saat Ayah—" Napas Ozi tercekat mengingat memori buruk yang ayahnya berikan di masa kecilnya. Kepalanya menengadah ke atas, tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Menghembuskan napasnya perlahan lantas berkata, "terserah. Ozi tidak bisa melarang apapun yang Ayah lakukan."

"Jika ingin menghukum Ozi karena menghabisi anak tiri kesayangan, mohon lakukan nanti. Ozi akan menuruti semua hukuman Ayah. Semua orang tunduk pada anda, Tuan Naksabandi."

Langkah Ozi terasa berat saat melewati sang ayah yang terpaku mendengar pengakuan darinya. Ia sudah memperhitungkan ini semua. Reaksi dari sang ayah sama seperti bayangannya. Lihat saja, setelah ini sang ayah akan meminta maaf padanya. Seraya berjalan menuju lift, dalam hati ia berhitung.

Satu

Dua

Tiga

Emp

"Ozi, Ayah minta—"

"Hentikan semua omong kosong Ayah!" tukas Ozi menghilang di balik pintu lift.

***

Derap langkah seseorang yang tengah berjalan di sepanjang lorong itu menggema dan terhenti tepat di depan sebuah pintu bercat putih. Mengetuk pelan lantas masuk tanpa menunggu izin dari sang pemilik. Tatapannya mengedar ke setiap sudut kamar tidur yang sangat rapi, namun tidak terlihat batang hidung sang pemilik.

"Ayden," panggil pria dengan pakaian formalnya, Adit. Rupanya pria itu baru saja pulang dari kantor.

Tak berselang lama, sosok remaja lelaki dengan kaos dan celana training keluar dari balik pintu ruangan belajarnya. Tatapan terkejut terlihat jelas di wajah tampannya. "Ada apa?"

JevandraWhere stories live. Discover now