Dua

315 16 1
                                    

Tak apa jika semua orang selalu mencaci bahkan memakimu, yakinlah jika semesta memiliki rencana indah untukmu.

***

Langit berubah menjadi gelap menandakan malam sudah tiba. Bulan menggantung sempurna dengan bintang-bintang yang bertaburan di langit menambah kesan indah. Lampu jalan dan gedung-gedung bertingkat menjadi penghias di malam hari.

Jevan, lelaki itu berjalan di gang sempit yang hanya cukup dilalui satu sepeda motor. Pencahayaan minim membuatnya harus berhati-hati jika berjalan. Di tangannya terdapat satu kantong plastik berisi nasi bungkus yang dibelinya dengan uang hasil kerja hari ini.

Selain bekerja di salah satu kafe, ia juga bekerja di salah satu toko sembako sebagai jasa tukang angkut. Pekerjaan itu di ambilnya ketika Jevan tak ada jadwal bekerja di kafe. Baginya, tak masalah bekerja apapun itu yang terpenting uang hasil jerih payahnya halal.

Sesampainya di kontrakan yang terletak di perkampungan padat penduduk, Jevan mengetuk pelan pintu rumah. Ia yakin jika ayahnya sudah pulang melihat lampu di teras menyala.

"Assalamu'alaikum." Jevan membuka pelan pintu rumahnya.

Ia mengedikkan bahunya acuh saat tak ada jawaban salam dari sang ayah. Meletakkan kantong plastik berisi nasi bungkus di meja, Jevan memilih membersihkan badannya yang terasa lengket.

Selesai dengan urusan badan dan ibadah, Jevan berjalan menghampiri ayahnya di ruang tengah. Di sana, ayahnya memakan dengan lahap nasi bungkus yang tadi dibelinya. Melihat sang ayah makan membuat ia meneguk air ludahnya kasar.

"Yah, Jevan belum makan," ujarnya pelan.

Yudha, ayahnya itu hanya melirik sinis dan melanjutkan makannya. "Terus, saya harus peduli?"

"Itu jatah Jevan, Yah," ucapnya hati-hati, takut menyakiti hati ayahnya.

"Bukan urusan saya." Yudha meletakkan bungkus nasi di atas meja dan meraih gelas berisi air mineral itu lantas meminumnya hingga tandas. "Mana uang hasil kerja hari ini? Ingat, saya masih berbaik hati mengijinkanmu tinggal di sini. Selama itu juga kamu harus bekerja."

Tanpa banyak protes, Jevan mengeluarkan uang dari sakunya. Menyerahkan dua uang kertas berwarna hijau pada Yudha. "Hari ini Jevan mendapat upah lima puluh ribu, sepuluh ribunya dibuat beli nasi bungkus."

Tak

Jevan menunduk. Menggigit bibir bawahnya menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya saat mendapatkan lemparan sendok tepat mengenai tulang hidungnya. Sungguh, hari ini ia lelah dan seluruh badannya sangat sakit. Ia menggeleng pelan, menepis semua keluh kesah di hatinya.

"Omong kosong! Seharusnya kamu kerja lain demi dapat banyak uang! Jangan memanjakan sifat malas yang ada pada dirimu itu!" Pria paruh bayah itu bangkit. "Uang ini untuk apa? Beli minuman saya pasti kurang."

Mati-matian Jevan menahan teriakannya saat Yudha lagi-lagi menyiksanya. Pria paruh baya itu menarik rambut Jevan lantas menghempaskan tubuh remaja itu hingga pelipisnya membentur meja.

Tak sampai di situ, Yudha meraih sapu yang berada tak jauh dari posisinya. Tanpa segan, ia memukulkan gagang sapu pada tubuh Jevan. Mulai dari bahu, punggung, paha, betis, dan lainnya.

"Yah... sakit," rintihnya pelan.

"Itu hukuman untuk kamu karena malas bekerja. Saya sudah berbaik hati menampung kamu. Bahkan saya rela mengasuh kamu tanpa bantuan wanita jalang itu, dasar anak haram tidak tahu diuntung!" cecarnya.

"Ayah, sakit. Jevan mohon hentikan," lirihnya.

Plak

Yudha menampar pipi putranya. "Saya sudah berbaik hati menyekolahkanmu, tapi apa balasanmu, heuh?"

JevandraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon